Showing posts with label coax. Show all posts
Showing posts with label coax. Show all posts

Saturday, 17 December 2011

Ngobrol Ngalor Ngidul 0603

Ngobrol Ngalor Ngidul 0603

Single Wire Line sebagai Saltran, bagian II

Di edisi lalu, kita udah ngebahas aplikasi single-wire line pada antena Windom: sa- lah satu rancangan fenomenal yang ter- nyata dari zaman ke zaman tetap bisa ja- di bahan diskusi yang menarik tentang ki- nerja, kelebihan dan kekurangannya. Mari kita bahas lanjutannya...

Walau pun single-wire line ini mudah in- stalasinya, sebagai saltran paling tidak ada dua kelemahan (disadvantages) yang membuatnya tidak lagi populer (dibanding coaxial dan balanced lines) di zaman mo- dern ini:

1. Karena jalur balik (return circuit ato re- turn path) dari sinyal yang langsung ke ta- nah itu (baca lagi penjelasan di edisi lalu) maka kelakuan ato kinerja antena de- ngan saltran berupa single-wire ini sangat tergantung kepada konduktivitas jenis ta- nah yang ‘ngebentang di bawahnya. Sa- yangnya, dalam praktek (di mana rangkai- an dari antena ke tanah tersebut lewat melalui sambungan-sambungan ke sistim pertanahan dari rig ato perangkat radio di hamsack), sering terjadi tidak didapatkan koneksi ke ground yang bener-bener me- menuhi apa yang dibutuhkan oleh rig-nya, sehingga return path tersebut ikutan tidak bisa tersambung (ke tanah) dengan baik- dan-benar seperti sakmustinya.

2. Saltran itu sendiri ikutan ‘mancar —ato menjadi bagian dari keseluruhan sistim antena yang berfungsi sebagai radiator— justru karena tidak adanya konduktor ke- dua (seperti pada kabel coax di mana ada shield ato outer braid sebagai bayangan/ mirror dari inner conductornya; atau pada balanced lines dimana ada dua konduk- tor) yang bisa meng-cancel medan elek- tromagnetik pada konduktor tunggal ter- sebut. Radiasi akan minimum kalo’ line diterminasi dengan sempurna, karena pa- da kondisi properly terminated ini arus yang lewat konduktor tersebut akan mini- mum juga adanya.

Kelemahan kedua tersebut pada bebera- pa kasus justru menjadi plus point ato ad- vantage tersendiri, seperti pada antena Windom yang disebut di depan, yang ke- unggulannya justru terletak pada saltran- nya yang ikutan ‘mancar tersebut (pada antena jenis ini titik umpan/feedpoint de- ngan impedansi yang sama dengan sal- tran yang sekitar 500an Ω itu dicari di se- panjang bentangan antena, jadi tidak di tengah bentangan antena –center fed– dengan impedansi rendah seperti biasa- nya – lihat lagi gambar di atas). Dari pe- mahaman ini berkembang pendapat (ato teori) bahwa antena Windom sebenarnya lebih berfungsi sebagai sebuah vertikal/ Marconi antenna ketimbang sebagai sem- palan sebuah Dipole.

Merunut teori ini, saltran-nya yang justru berfungsi sebagai radiator utama, se- dangkan bagian flat-top (sisi horizontal) berfungsi sebagai capacitive hat, yang memang biasa dipaké pada antena verti- kal yang ukuran fisiknya tidak bisa dibuat sepanjang 1/4 λ seperti seharusnya. Butir pertama di atas juga menerangkan kena- pa antena Windom bisa bekerja fantastic kalo’ dioperaskan dengan sistim pentana- han/grounding system yang nyaris sem- purna, di mana kondisi dan struktur ta- nah di bawah instalasinya memang men- dukung, seperti dikisahkan bahwa antena Windom akan bekerja sangat baik kalo’ dipaké ‘mancar dari lembah (dengan kan- dungan air tanah yang dekat ke permuka- an), di pantai (tanah/pasirnya mengan- dung garam), ato di bantaran kali...
[73]

Friday, 9 December 2011

Ngobrol Ngalor Ngidul 0602

Ngobrol Ngalor Ngidul 0602


Single Wire Line sebagai Saltran

Bagi  rekans dari generasi akhir 70-an ke sini, rasanya jarang yang bakal terpikir un- tuk memakai single-wire line (kawat  sak- ler) sebagai saltran (penyalur transmisi). Barangkali   rekans dari the later genera- tion ini cuma selintas mendengar crita da- ri mulut-ke-mulut, baca di milist dan seba- gainya tentang aplikasi single-wire line ini pada antena Windom, salah satu ranca- ngan fenomenal yang ternyata dari zaman ke zaman tetap bisa jadi bahan diskusi (dari yang serious sampé yang sekedar debat kusir) yang menarik tentang kiner- ja, kelebihan dan kekurangannya.

Di samping antena Windom, generasi pra 70an mengenal aplikasi single-wire line ini pada rancangan yang pada zaman itu lazim disebut sebagai antena T. Juga ada antena L (padahal secara fisik tongkrong- annya lebih pantes disebut sebagai L-ter- balik ato Inverted L) dan beberapa jenis antena yang sebenarnya bisa dimasukkan dalam kategori antena random wire (ka- wat acak). Zaman itu boleh dibilang ante- na jenis inilah yang jadi pilihan pertama bagi para eksperimenter, terutama mere- ka yang tinggal di daerah ato di luar kota- kota gedé, di mana kabel coax belum me- ngalami era “coax masuk desa” atau pun kalo’ ada masih diluar jangkauan daya beli rata-rata amatir angkatan itu.

Open wire ato balanced lines pun zaman itu belon populer, baik pembuatan mau pun pemakaiannya – kecuali bagi mereka yang beruntung punya akses ke literatur ato bacaan dari luar pager, ato para mahasiswa teknik elektro yang memang dapat pelajaran tentang saltran ini. Salah satu yang bikin banyak rekan jadi males untuk eksperimen dengan balanced lines adalah ke-ogah-an untuk bikin Matching unit yang sesuai untuk menjodohkan (matching) impedansi tinggi balanced lines tersebut dengan kluaran TX yang unbalance berimpedansi (relatip) rendah.

Sesuai namanya, single-wire adalah se- utas kawat (sebagai konduktor) yang di- bentang dari terminal kluaran TX ke ante- na. Sirkit balik (return path) untuk saltran macam ini adalah langsung ke tanah atau ground. Seperti pada antena yang meng- anggap tanah di bawah bentangannya se- bagai bayangan – mirror ato image nya, maka tanah di sini berfungsi sebagai konduktor ke dua yang merupakan image dari single conductor berupa kawat sak-ler tadi.

Pada banyak kasus, kawat ini justru jadi bagian dari antena itu sendiri, dan karenanya (dengan  segala kekurangan dan kelebihannya) jadi ikutan radiate ato ‘mancar juga.

Kawat  ini bisa berupa kawat tembaga te- lanjang (zaman itoe dipaké di jaringan tel- pon dari sentral telpon ke rumah pelang- gan), kawat tembaga bersalut enamel (le- bih dikenal sebagai kawat dinamo) ato kabel kelistrikan yang bersalut, baik yang tunggal (engkel/solid) maupun yang sera- but (stranded wire).  Impedansi (charac- teristic impedance) kawat macam ini tergantung pada diameter dan ketinggian bentangannya dari permukaan tanah, yang berkisar antara 500-600 Ω untuk kawat #12 ato 14 (Ø 2.0 ato 1.6 mm) pada ketinggian 3~10 meter, ato bisa di- itung dengan rumus

Z0 =138 log (4 h/d)

Z0 = Characteristic  impedance (dalam Ω)
h =  Ketinggian  bentangan d =  Diameter kawat
(h dan d dinyatakan dalam satuan ukur yang sama)

Dengan mengkonèk kawat sak-ler terse- but ke titik di sepanjang bentangan an- tena di mana impedansi (resistive impe- dance)-nya berkisar 500-600 Ω juga, akan didapatkan kondisi matched, di ma- na sistim antena bisa dioperasikan tanpa adanya penunjukan SWR yang berarti, yang dengan mudah bisa di SWR 1:1-kan dengan sedikit adjusment ato penalaan pada rangkaian output TX, yang di era ta- bung itoe kebanyakan memakai rangkai- an Pi-section ato link coupling. Untuk    pe- makaian di era Transceiver solid state masa kini tentunya rangkaian Pi-section ato link coupling tersebut bisa dibuat sebagai unit Tuner ato Matching  unit yang terpisah (independent ato outboard unit), seperti terlihat pada gambar berikut.

Bersambung ke Edisi 03/VI

Sunday, 4 December 2011

Ngobrol Ngalor Ngidul 0304

Ngobrol Ngalor Ngidul 0304  

Konektor dan Impedansi Saltran

Edisi lalu kita telah membahas mengenai konektor BNC, sekarang mari kita bahas konek tor lain serta impedansi dari Saltran.  

UHF Type
Jangan terkecoh, walau “judulnya” UHF, konektor jenis ini justru hanya cocok dipakai  pada frekuensi HF dan VHF, sama sekali ‘nggak cocok buat dipaké pada band UHF. Dari seri ini, yang paling terkenal adalah jenis PL-259 (jantan/male) dan SO-239 (betina/female, chassis mounted). Walau sebenarnya didesain untuk kabel coax “kelas” RG-8 dan RG-11 (dengan diameter luar 0.405”), dari pabrik selalu diserta- kan adapter (UG-176/U atau UG-175/U) supaya bisa pas dipaké de- ngan coax RG-58, RG59 dan variantnya. Juga
tersedia adapter male-to- male-nya, berupa sebuah konektor yang sepintas kelihatan seperti 2   ujung  female connectors yang di”cor” bertolak belakang  Adapter ini diperlukan kalau mau menyambung dua potong kabel coax yang diame- ternya sama, (impedansinya mung- kin berlainan), seperti pada pengumpanan antena Qubical Quad, di mana sebelum “masuk” ke feed- point, ujung RG-58 dari TX disela dulu dengan Q-section berupa coax RG-59 sepanjang 1/4λ).

Perlu diingat, UHF type connectors tidak dibuat untuk weatherproof, jadi untuk  pemakaian di luar (outdoor) seyogyanya diberikan sealing.

Type N
Yang ini dirancang untuk transmisi high power di rentang band UHF,    dan dibanding dua jenis yang disebut duluan bisa disebut sebagai yang paling ‘njlimet alias susah urusan sabung-menyambungnya lebih cocok untuk pemakaian pada ren- tang band 300 MHz ke atas, dan memang didesain weatherproof.

Begitu proses penalaan antena sele- sai dan antena siap dikèrèk ke atas tower,  seyogyanya untuk menu- tup rapat semua sambungan dan titik solder dengan electrical tape atau Coaxial Seal yang memang dibuat pabrik untuk keperluan sealing ma- cam ini (di Jakarta/ sekitarnya, di lingkungan teknisi ada yang menye- butnya jenang atau dodol, karena sepintas memang kaya’ jenang: lem- bek, liat, sticky di jari, plastis/bisa diolor kaya’ permenkaret) yang akan  mengeras begitu dipakai sehingga membuat bagian yang ditutupi jadi kedap air. Ini semua dilakukan un- tuk menghindari kekecewaan di ke- mudian hari lantaran ‘ngerembes atau ‘ngresep-nya air hujan/embun ke dalam ka-bel coax atau elemen antena, yang menyebabkan konduktor jadi terkorosi, getas, solderannya prothol dan sebagainya... akibatnya SWR ‘nglunjak naik, atau the worst case konduktor terputus somewhere di atas sana!

Phasing line & Impedance Transformer, aplikasi lain Kabel coax
Selain dipakai sebagai penyalur transmisi, kabel coax dipakai untuk membuat komponen  sistem antena yang diperlukan dalam merakit an- tena tertentu, misalnya phasing line (dipakai untuk merangkai atau menggabungkan beberapa elemen antena yang sekaligus diumpan ba- reng-bareng dari TX), atau sebagai penyelaras impedansi (matching atau impedance transformer, matching stub) untuk menyambung atau menghu- bungkan dua titik sambung dengan impedansi yang berlainan. Untuk ini kabel coax dipotong 1/4λ atau kelipatannya dengan rumus:

L = (75/f)*Vf

L: panjang dalam meter
f: frekwensi kerja dalam MHz
Vf: Velocity factor coax yang dipakai.

  Sekadar informasi, kalo’ dipaké Saltran sepanjang 1/2λ (dihitung de- ngan rumus 150/f *Vf) pada konfi- gurasi sistim antena, maka akan di- dapati “pengulangan” impedansi pada kedua ujung Saltran; dengan   kata lain kalo’ di ujung atas (pada feedpoint) ditemui impedansi 40 Ω, maka di ujung bawah (yang ‘nyam- bung ke output TX) akan ditemui impedansi 40 Ω juga, tanpa harus memperhitungkan berapa impedansi Saltran itu sendiri.  

Suatu saat kita juga bakal bahas ‘gimana cara memanfaatkan Saltrans sebagai  impedance transformer untuk “menjodohkan” dua titik (feedpoint dan output TX) beda impedansi.

Nah, mengakhiri bahasan di edisi ini, tabel di bawah adalah rangkuman data sheet  berbagai jenis Saltran untuk frekwensi HF yang ada (umum) di pasaran sini.


Angka pada kolom dB loss/30 mtr, Velocity factor dan C/feet adalah nilai rata-rata,  karena dari satu pabrik ke pabrik lain nilainya bisa sedikit ber- beda. Kalau mau angka yang lebih akurat tentunya bisa merujuk ke technical specification dari kabel, bisa dilihat di pembungkus (packing) atau datasheet yang disertakan di kemasan. Bisa juga ditanyakan pada agen pemasaran di sini, tapi itu kan hanya bisa diakses kalo’ kita beli dalam partai besar (biasanya per roll/glondong @ 300’). Yang beli paling banter 20 – 30 m cukuplah angka-angka di bawah sekadar ancer-ancer. Lagi pula —pada kabel bekas tergantung faktor umur, cara penyimpanan, pemakaian selama ini/sebelumnya dan lainnya— jarang bisa ditemukan coax dengan nilai-nilai yang persis “pleg” dengan yang tertera di specs atau data sheet.

BTW, buat amatir yang juga main di bidang IT ‘kali aja ada sisa-sisa kabel ethernet jenis Thin Net, yang sekitar satu dasawarsa belakangan ini dipakai untuk instalasi jaringan LAN dan Intranet sebelum orang memakai kabel tembaga UTP (unshielded twisted pair) jenis CAT 5, 6 dan 7, atau fibre optic. Bekas pun jadi, karena selama dipakai kan di- bentangnya di lingkungan yang ber- sahabat (ruang ber-AC, dimasukin pipa, lewat ducting atau di bawah raised floor), sehingga masih masuk kategori layak pakai. Yang paling top yang jenis plenum (dengan foam FEP/teflon dielectric dan salut fluoro-copolymer, temperatur ratingnya lebih tinggi, dan kalo’ terbakar tidak mengeluarkan uap beracun seperti ka- bel bersalut plastik lainnya), dengan merek dagang Thin Net 10BASE2, Belden 9907 atau 89907. Kabel ini karakteristiknya deket sekali (malah lebih baik) dengan kabel coax RG-58A/U (lossesnya lebih kecil, tempe- ratur rating lebih tinggi, bobot lebih enteng) walau diameternya lebih kecil dan lebih lemes, jadi praktis buat ditèntèng-tèntèng working portable dengan rig kelas 100 watt.

Nah, cukup sampé di sini obrolan tentang Saltran ini. Di edisi depan kita ganti topik  lagi, kali ini kita cermati bermacam bahan yang bisa (dan biasa) dipaké sebagai bahan

merakit antena. So until then, stay tuned, CU ES 73!
[73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0303

Ngobrol Ngalor Ngidul 0303

Lebih Jauh Mengenai Saltran

Sekadar mengingatkan kembali, di akhir edisi lalu penulis janji di edisi ini mo’ nerusin ‘ngobrol tentang Saltran (sebagai akronim dari kata Saluran Transmisi); yang di edisi kemarin terhenti sampai uraian tentang Lew, K4VX yang nekad bereksperimen dengan jarak antar konduktor sekitar 1 – 1,3 cm saja.
————————

Nah, dari uraian di dua edisi sebelum ini barangkali sudah dapat disimpulkan bahwa di samping bisa dibikin sendiri, kelebi- han Open Wire ketimbang saltran jenis lain adalah nilai losses-nya yang kecil sekali, sehingga pemakaian di band High Frequency (baik pada penggunaan di lingkungan amatir radio, komersiil sampai ke bidang militer) faktor losses ini boleh diabaikan saja.  

TV Feeder
Untuk bikin antena G5RV (lihat BeON 2/II, Juli 2002) atau Subur- band Multibandernya W6JJZ (BeON 3/II, Agustus 2002) mesti dicari TV Feeder kualitas baik dengan dielektrik dari plastik PE (Polyethy- lene) warna putih dof (kusam) atau coklat tua kehitaman, berbentuk pita (ribbon) setebal ± 1 mm, kon- duktornya kawat AWG #20 atau 18 (Ø 0,8 atau 1 mm) jenis serabut (stranded), lemas, dengan jarak antar konduktor ± 0,5 - 1 cm.

Karena berbentuk pita inilah feeder jenis ini umumnya dikenal dengan sebutan Ribbon Type TV Feeder, yang   dari pabriknya dibuat dengan impedansi 300 ohm    
Yang jenis beginian bisa dipakai untuk transmisi dengan power output sekitar 100 Watt, cuma kaya’nya sekarang sudah sulit didapat di pasaran (mungkin masih bisa dite- mukan di gudang rumah Abah, Mertua atawa Kakek, sisa dari ja- man TV item-putih doeloe karena jaman itu tiap pembeli TV selalu dibekali kabel beginian buat insta- lasi antena pertamanya).

Dengan sedikit usaha, barangkali TV feeder yang bagus atau yang memang jenis  transmission type (dielektrik dari foam/busa padat, bentuknya tetap kaya pita cuma lebih tebal dengan penampang agak oval) bisa didapatkan dari distribu- tor resmi pabrik kabel yang ada di sini, tapi kaya'nya mesti dibeli dalam bentuk roll atau glondongan 1000 feet (300 meteran) dan ‘nggak di jual eceran (belinya patungan ramé-ramé lah!).

Sekitar akhir 80'an di tukang loak masih bisa didapat feeder macam ini, (mungkin  sisa-sisa dari pemancar lama di lingkungan TNI d/h ABRI atau Penerbangan Sipil) dengan lebar ± 2 cm, tebal ± 2 mm, kon- duktor serabut sebesar batang korek api dengan dielektrik foam warna putih.

TV feeder 300 ohm yang sekarang ada di pasaran (karena dalam pema- kaian sehari-hari  untuk TV warna sudah digantikan dengan coax 72 ohm) kualitasnya memelas banget dan rasanya ‘nggak sampai hati untuk dipakai ‘ngebahan antena pemancar, kecuali untuk sekadar eksperimen, field day dan semacam- nya, atau memang diniatkan kalau putus atau jadi getas (begitu dipakai barang 1 - 2 bulan) ya diganti lagi, lha wong harganya memang masuk kategori “cukup terjangkau” ‘gitu!

BTW, banyak yang salah kaprah (termasuk penulis sendiri, doeloe- nya!) menyebut ribbon  type TV feeder ini dengan sebutan Twin Lead. Sebenarnya, feeder TV yang pernah ada di pasaran Indonesia semuanya dari jenis ribbon type ini, sedangkan istilah Twin Lead adalah sebutan umum bagi feeder buatan pabrik yang terdiri dari dua buah konduktor (lead) yang kembar (twin), lang- sung moulded di dalam material die- lektriknya,
supaya jarak antar kon- duktornya selalu bisa terjaga rapi. Jadi, dalam sebutan Twin Lead ini termasuk juga Open Wire bikinan pabrik yang diwedar di edisi lalu,seperti juga disebut di iklan majalah QST, CQ, 73 dan sebagainya.

Kabel Coax
Berdasarkan impedansinya, kabel coax yang umum dipakai di lingkungan amatir dan gampang dida- pat di pasaran dibedakan dalam 2 jenis: impedansinya ± 50 ohm dan yang 70 ohm.
Untuk impedansi 50 ohm kita kenal coax RG-58, RG-8, RG-213 dan variantnya, sedang  untuk 70 ohm
ada RG-59, RG-11, RG-216 dan berbagai variantnya. Di pasaran, variant ini bisa dilihat  dari tambahan beberapa huruf seperti A, A/U, U dan X di belakang sebutan type; ini merunut pada jenis bahan plastik yang dipakai sebagai dielektriknya. Yang umum ditemui adalah variant macam RG-58A, RG-59A/U, RG-8X dan sebagainya. Karena bikinan pabrik (dus tinggal beli), ‘nggak ba- nyak yang bisa penulis bahas di sini, cuma aja kalo’ memang mau beli kabel coax, usahakan —walau agak mahal— untuk memakai merek yang sudah dikenal reputasinya se- bagai coax kualitas unggulan, seperti Belden dan Amphenol. Di pasaran beredar bermacam merk yang lebih murah (apalagi untuk yang 70 ohm karena jenis ini dipakai juga untuk antena penerima TV) tapi kualitas- nya ya ikut jadi murahan! Konduk- tor luar (scherm) anyamannya jarang- jarang, mudah terurai, suka me- nempel ke dielektriknya (susah un- tuk disolder tanpa merusak dielek- trik). Ada
merek tertentu (beberapa malah merk-nya ‘nggak kelihatan atau kabur cetakannya) dengan inner conductor yang terdiri dari satu (sing- le) kawat tembaga ukuran sekitar 0,4 - 0,8 mm! Wèlèh-wèlèh, baya- ngin kalau yang beginian putus pas pada sambungan di feed point atas sono, ya 'abis sajalah semua jerih payah kita bersusah-susah naikin antena! Sebagai dielektrik dipakai plastik jenis PE/Polyethylene (yang biasa) dalam
bentuk solid/padat atau foam (busa padat), atau kalo’ mau kualitas “unggulan” dipakai PTFE/Polytetrafluoroethylene (teflon) yang tahan panas (sampé 2500o C).

Coaxial Connector
Nah, kalo’ sudah diniatkan cari kabel coax kualitas bagus, untuk konektornya juga kudu cari yang merek Amphenol, Bendix atau Kings yang memang kualitasnya bisa diandalkan. Beberapa di anta- ranya memang dibuat untuk memenuhi Mil-specs atau pemakaian di lingkungan Avionics yang menuntut persyaratan presisi dan sekuriti ketat —ulir/draad yang tidak mu- dah dol, isolatornya (yang bagus: Teflon) tidak gampang meleleh atau mengkerut kalau kena solder— karena bagi seorang amatir tidak ada yang lebih ‘ngeselin dibanding ‘nemukan (setelah berjam-jam ‘nya- rinya) antena ‘nggak mau kerja karena sambungan di konektor (yang terpasang di feed point antena, nun jauh di atas sono) kortsluit atau sebaliknya ‘nggak tersolder dengan baik. Konektor yang umum dipakai (dan gampang dicari di pasaran) bisa dibedakan dalam 3 type: typeUHF, BNC, dan type N:

Type BNC
Ukurannya cocok untuk dipakai dengan kabel coax jenis RG-58 dan RG-59. Walaupun  didesain untuk transmisi low-power di band VHF (dan UHF), banyak yang memakai- nya di HF terutama para QRPers dan back-packers karena memang praktis: koneksinya bukan sistim ulir, melainkan paké sistem bayonet model “dicolok, diputer, dan langsung nge’lock alias ‘ngunci”; sehing- ga bisa diganti atau “dipasang-dicopot-dan-dipasang lagi” secara cepat. Jenis BNC ini lebih bisa diandalkan untuk instalasi outdoor karena (kalo’ dipasang dengan baik dan benar) dari sononya memang didesain tahan cuaca alias weatherproof. Karena bentuknya yang kecil, umumnya dipaké di HT, QRP rigs, alat-alat ukur atau aksesories macam ATU dan lain sebagainya.

Edisi mendatang kita bahas tipe konektor lain yang umum serta bahasan sisa topik ini.
[73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0302

Ngobrol Ngalor Ngidul 0302

Saluran Transmisi bagian II

Ada pertanyaan? Sila kirim ke orari-news@yahoogroups.com atau konsultasi langsung ke unclebam@indosat.net.id

Sekadar mengingatkan kembali, di akhir edisi lalu, penulis janji di edisi ini mo’‘ngobrolin tentang Feeder Line (transmission line), yang dalam berbagai literatur lingkungan Jabatan Talikom lazim juga disebut dengan istilah saltran (Saluran Transmisi); merupakan media untuk menyalurkan sinyal transmisi dari output TX ke antena.

Open wire buatan sendiri biasanya dibuat dengan jarak antarkonduktor 5-15 cm. Ada yang membuatnya dengan spasi 40-60 cm, tapi kalau mereka sudah tahu rumus bikinnya tentu bakalan ‘nyesel, karena kok kaya’nya hasil “karya”nya jadi serba berlebihan atau bisa-bisa malah mubazir aja (seperti mereka yang
‘nembak tikus sawah paké AK-47).

Rumus berikut adalah rumus paling sederhana yang bisa dijumpai di literatur, tapi cukup lah untuk dipaké ‘ngitung kalo’ mo’ bikin open wire untuk berbagai aplikasi di rentang band HF:

Z(ohm) = 276 log (2S/d)
Z = Impedansi dalam Ohm
S = Jarak antar as konduktor d = Diameter konduktor

S dan d dihitung dalam satuan ukur yang sama (kalau cm, dua-duanya mesti diukur dalam  cm, mm ya sama-sama mm, begitu juga kalo’ pakai feet, inch dan sebagainya).

Catatan: Rumus di atas dipakai juga untuk menghitung impedansi Hairpin, tusuk kondé  yang dipakai sebagai salah satu cara mengkopel saltran ke titik umpan pada Beam Antenna macam Multi Elements Yagi.

Open wire feeder 300-450 Ohm bikinan pabrik dibuat dari kawat AWG (American Wire Gauge, standarisasi pengukuran diameter kawat di Amrik) #16, 18 atau 20 (Ø 1,2 , 1 atau 0,8 mm) solid atau stranded, yang langsung dicetak (moulded) dengan dielektrik dari plastik PE/Polyethylene dengan spasi antarkonduktor sekitar 2,5 cm.

Supaya bobotnya bisa lebih ringan dan kalau sudah dikèrèk ke atas tidak lantas  ‘mlintir atau mobat- mabit ketiup angin, dari sononya feeder macam ini dielektriknya dilubangi dengan ukuran dan spasi yang teratur. Karena lubangnya berbentuk kotak, orang sebrang ‘ngebayangin seolah dielektriknya diberi jendela, sehingga lahirlah sebutan Window Type Ladder Line untuk open wire jenis ini (Gambar 1, bawah).

Untuk bereksperimen, working portable dan lainnya dengan berbagai antena macam  center-fed Doublet atau Multiband GP, penulis memakai model Window Type ini (isi kawat#20 solid), yang di tahun 80an diolèh-olèhin Kapitèn Wied, YBØBWW, sepulang beliau ‘narik dari Whiskey Land; tahun 95'an dapat lagi yang lebih tebel (isi kawat #16 stranded) dan lebih berat, tapi lebih lemes juga dari Amrik sono.

Kalau memang ‘pingin punya open wire yang beginian dan kebetulan ada yang mau  dititipi buat ‘nyariin (atau ya pergi sendiri kalo’ sangu- nya cukup), di kawasan sini barangkali bisa dicari di toko-toko elektronik (terutama yang jual barang-barang hobiist) di VK Land seperti di Dick Smith’s (toserbanya VS6DS), Radio Shack atau Akihabara (JA-land) sono.

Buat mereka yang memang punya sarana penunjangnya (akses ke Internet atau mesin fax  dan Credit Card), lebih praktis adalah beli lewat mail order. Salah satu pemasok yang pernah penulis hubungi adalah Cable Expert Inc. di Amrik sono, http://www.cablexperts.com [note: no commercial interest whatsoever, just a
happy and satisfied customer]. 

Homebrewing your own open wire!
John, YB2NG, bikin spacer ini dari potongan acrylic, yang bisa dipulung dari biro-biro iklan sebagai sisa potongan pada proses pembuatan barang promosi seperti papan iklan, billboard, souvenir seperti gantungan kunci dan lainnya. Tebalnya macam-macam, dari yang cuma 1 mm sampai 1 cm. Lha yang belakangan ini cukup pas untuk spacer, tinggal motongi saja seukuran 1 – 2 cm (l) x 10 cm (p), trus dialusin dan dibentuk sebagai spacer (mau dilobangi, atau cukup dikowak saja sedikit di sisi-
sisinya untuk lewatnya konduktor).

Untuk bekerja dengan daya 100 watt-an (barefoot), penulis pernah bikin spacer dari belahan bambu,  acrylic sheet 1 mm yang dirangkap dan lainnya, tapi yang lebih praktis adalah dengan  mengalihgunakan blok terminal kabel listrik (AC) yang banyak dijual di toko listrik.

Satu terminal terdiri dari 12 mata dan untuk mengalihgunakannya sebagai spacer bisa  dipakai 3 mata  per spacer, sehingga terdapat jarak 3 sampai 4 cm antara kedua kawat.

Untuk menggantungkannya (misalnya ke feed point) pakai snaar pancing (nylon fishing line) yang   disisipkan ke “mata” yang di tengah (lihat Gambar 2).  


Untuk pemakaian di QTH (antara lain untuk stub atau kuncir pada  Reflektornya antena Cubical Quad) dipakai kawat email 1,2 - 2 mm, sedang untuk  dibawa-bawa siapkan open wire dari kabel speaker yang  
lebih lemas dan lentur sehingga gampang digulungnya (cuma  memang lebih gampang jadi kusut kalau 'mbuka gulungannya 'nggak sabaran, juga gampang keplintir dan ‘mbundel ketiup angin, makanya ya jangan kelewat panjang bikinnya).

Tulisan Lew Gordon, K4VX, di QST halaman 40, terbitan Juli 2002 “membuka” mata penulis(!): open wire —baik sebagai saltran, untuk‘ngebahan elemen antena (misalnya pada Folded Dipole Antenna) atau
untuk membuat linear loading device (lihat BeON 6/II, edisi Nopember 2002)— tidak harus dibuat
dengan spasi yang kelewat lebar.

Dalam tulisannya, Lew menceritakan bagaimana dia   melubangi dielektrik pada window type ladder linenya, kemudian menyisipkan kawat tembaga #12 (Ø 2 mm) lewat lubang tersebut sehingga jarak antar konduktor jadi tidak lebih dari 1,25 cm saja. Sebelum ini penulis “bertahan” untuk membuatnya dengan spasi 6 sampai 7,5 cm (sekitar 3”), tetapi Lew, K4VX, membuktikan bahwa spasi ± 1 cm pun ternyata sudah cukup (dus windloadnya lebih kecil) tanpa ada perbedaan kinerja dan karakteristik yang signifikan dibandingin yang spasinya gedéan).


Wow, ini mah sudah kebablasan ‘ngabis-abisin “kapling”... Lebih baik edisi kali ini kita cukupkan sampé di sini dulu, ‘ntar di edisi depan kita terusin ‘ngobrolin berjenis saltran yang lain: TV feeder, bermacam coax dan lainnya.

So, until then —just stay tuned— CU ES 73!











Ngobrol Ngalor Ngidul 0301

Ngobrol Ngalor Ngidul 

Saluran Transmisi

Ada pertanyaan? Sila kirim ke orari-news@yahoogroups.com atau konsultasi langsung ke
unclebam@indosat.net.id  

Sekadar mengingatkan kembali, di akhir edisi lalu, penulis janji di edisi ini mo’ ‘ngobrolin tentang Feeder Line (transmission line), yang dalam berbagai literatur lingkungan Jabatan Talikom lazim juga disebut dengan istilah Saltran (Saluran Transmisi); merupakan media untuk menyalurkan sinyal transmisi dari output TX ke antena. Untuk  menghemat beberapa karakter, di sepanjang tulisan ini penulis mo’ pinjem-paké terminoloji Saltran

Kalo’ mau dirunut balik asal muasal kata tersebut, transmission line bisa diartikan sebagai penyalur transmisi, sedangkan feeder line berasal dari kata to feed = memberi  makan, lantaran fungsinya sebagai pengumpan (menyalurkan umpan atau makanan berupa  sinyal TX).

Saltran dibedakan dalam 2 (dua) jenis kelompok dasar, yaitu jenis Balance dan  Unbalance. Secara fisik bisa dilihat dalam bentuk:

A. Parallel Feeder, berupa dua konduktor dari jenis yang sama, dipasang berjajar dan  diusahakan selalu dalam kondisi imbang satu sama lain. Dalam pembuatannya, supaya tidak terjadi hubungan pendek (shorted atau kortsluit), antara kedua konduktor disalut dengan dielectric material yang bersifat non- conductive. Ada yang membiarkan celah dengan udara kosong (air dielectric) di antara kedua konduktor.

Distribusi tegangan dan arus merata pada feeder macam ini dan dapat dipertahankan  secara imbang di sepanjang konduktor. Karenanya feeder jenis ini disebut sebagai balance(d) feeder. Termasuk dalam kelompok ini adalah open wire dan feeder TV 

B. Coaxial Feeder, terdiri dari dua konduktor dari jenis yang tidak sama: satu konduktor dari kawat tunggal (solid) atau serabut (stranded) sebagai konduktor dalam dan lainnya berbentuk selongsong dari kawat anyaman (braid) sebagai konduktor luar. Dalam pembuatannya —dengan dibatasi penyekat secara “coaxial”— (co=sama, axial=as) konduktor dalam diselongsongi konduktor  luar, sedang paling luar selongsong tadi dibungkus dengan salut plastik (vynil atau PE). Dilihat dari satu ujungnya, penampangnya terlihat seperti beberapa materi silindris — satu mengelilingi yang lain—
pada titik as yang sama (lihat Gambar 1).


Dielektrik kedua konduktor bisa berbentuk pejal, foam atau udara. Jenis air dielectric  tidak lazim dipakai di rentang frekuensi HF. Dari bahan dan pembuatan kedua konduktor (inner dan outer) yang saling berbeda, bisa ditebak bahwa kabel coaxial adalah feeder line dari jenis unbalance.

Sebagai penyalur transmisi, sinyal disalurkan lewat kulit luar dari inner conductor  dan sisi dalam selongsong atau outer braidnya. Sebenarnya ada satu jenis Saltran lagi yaitu Wave Guide, konduktor tubing (tabung atau pipa) yang dilewati sinyal bukan pada permukaan (seperti pada konduktor Saltran sebelumnya) — konduktor di sini lebih berfungsi sebagai terowongan yang melewati enerji  di dalamnya, sepanjang perjalanan terkurung di dalam dan dipantulkan sepanjang dinding  dalam tubing.

Saltran yang ini dipakai di rentang frekuensi UHF/microwave, tidak   umum dipakai di band HF atau pun VHF. Di samping karena mahal, handlingnya susah (diameternya paling ‘nggak 7-10 cm, kaku, berat, sambungannya memerlukan konektor khusus, juga karena spesifikasi terlalu tinggi dan berlebihan kalo’ mo dipaksakan dipaké di band-band bawah.

A.1. Open wire (ladder line atawa tangga monyet). Doeloe-doeloenya, orang hanya mengenal antena
seutas kawat (single wire) yang langsung dicolokin di output rangkaian akhir (tank-coil) pemancar.

Waktu disadari bahwa sebaiknya antena dipasang di ketinggian yang jauh dari tanah (ingat ‘kan, half-wave dipole baru kelihatan directivitynya kalo’ direntang di ketinggian ±½λ dari tanah?), “penyalur transmisi” untuk menghubungkan terminal output TX dengan feed point dari antena yang pertama dikenal adalah open wire, berupa sepasang konduktor dari kawat/kabel dari bahan dan ukuran yang sama, dipasang berjajar dengan menempatkan dielectric material di antara kedua konduktor tersebut. Sebelum ada open wire bikinan pabrik, para pendahoeloe (yang kemudian diteruskan homebrewers sampai saat ini) membuatnya dengan memasang spacers (pemisah) dari bambu, kayu, rotan, bakelite atau pertinax dengan interval tertentu di antara dan sepanjang kedua konduktor. Di era plastik ini lazimnya dibuat dari bahan PE/ polyethylene, polystyrene, acrylic/ plexiglass, teflon, fibre glass rod, PVC atau lainnya.

Karena dibuat pakai spacer antar kedua konduktor, bentuknya kaya’ tangga. Dari sinilah  sebutan Ladder Line bermula (ladder=tangga). Bentuk yang kaya’ tangga jugalah (apalagi spacernya sampé 30-40 cm)   orang  Kulonprogo, Bantul, Sleman dan sekitarnya menyebutnya Ondo Munyuk atawa Tangga Monyet  (lihat Gambar 2) 


Pada spacer rumahan, kalau spasinya sedang-sedang (< 10 cm) selain bisa memakai belahan bambu, kayu atau rotan bisa juga dipakai potongan pipa PVC, tapi mesti dicari merk yang memang sudahdikenal baik kualitasnya seperti Pralon, Wavin, Banlon agar tidak mudah patah, melengkung, melintir atau jadi getas ditimpa perubahan cuaca.

Kalo’ adanya cuma bambu, kayu, atau rotan, sebaiknya diolah dulu dengan mencelupkannya ke larutan parafine, malam batik mendidih, politur/varnish atau cat kayu outdoor (bahan dasarnya polyurethane, melamic atau acrylic). Ini semua akan membuatnya lebih   tahan cuaca (saat hujan ‘nggak ‘ngisep air    karena pori-porinya tertutup, saat panas bisa menahan terpaan panas dan sinar UV yang membuatnya cepat jadi getas). [QRX]