Saturday 17 December 2011

Ngobrol Ngalor Ngidul 0603

Ngobrol Ngalor Ngidul 0603

Single Wire Line sebagai Saltran, bagian II

Di edisi lalu, kita udah ngebahas aplikasi single-wire line pada antena Windom: sa- lah satu rancangan fenomenal yang ter- nyata dari zaman ke zaman tetap bisa ja- di bahan diskusi yang menarik tentang ki- nerja, kelebihan dan kekurangannya. Mari kita bahas lanjutannya...

Walau pun single-wire line ini mudah in- stalasinya, sebagai saltran paling tidak ada dua kelemahan (disadvantages) yang membuatnya tidak lagi populer (dibanding coaxial dan balanced lines) di zaman mo- dern ini:

1. Karena jalur balik (return circuit ato re- turn path) dari sinyal yang langsung ke ta- nah itu (baca lagi penjelasan di edisi lalu) maka kelakuan ato kinerja antena de- ngan saltran berupa single-wire ini sangat tergantung kepada konduktivitas jenis ta- nah yang ‘ngebentang di bawahnya. Sa- yangnya, dalam praktek (di mana rangkai- an dari antena ke tanah tersebut lewat melalui sambungan-sambungan ke sistim pertanahan dari rig ato perangkat radio di hamsack), sering terjadi tidak didapatkan koneksi ke ground yang bener-bener me- menuhi apa yang dibutuhkan oleh rig-nya, sehingga return path tersebut ikutan tidak bisa tersambung (ke tanah) dengan baik- dan-benar seperti sakmustinya.

2. Saltran itu sendiri ikutan ‘mancar —ato menjadi bagian dari keseluruhan sistim antena yang berfungsi sebagai radiator— justru karena tidak adanya konduktor ke- dua (seperti pada kabel coax di mana ada shield ato outer braid sebagai bayangan/ mirror dari inner conductornya; atau pada balanced lines dimana ada dua konduk- tor) yang bisa meng-cancel medan elek- tromagnetik pada konduktor tunggal ter- sebut. Radiasi akan minimum kalo’ line diterminasi dengan sempurna, karena pa- da kondisi properly terminated ini arus yang lewat konduktor tersebut akan mini- mum juga adanya.

Kelemahan kedua tersebut pada bebera- pa kasus justru menjadi plus point ato ad- vantage tersendiri, seperti pada antena Windom yang disebut di depan, yang ke- unggulannya justru terletak pada saltran- nya yang ikutan ‘mancar tersebut (pada antena jenis ini titik umpan/feedpoint de- ngan impedansi yang sama dengan sal- tran yang sekitar 500an Ω itu dicari di se- panjang bentangan antena, jadi tidak di tengah bentangan antena –center fed– dengan impedansi rendah seperti biasa- nya – lihat lagi gambar di atas). Dari pe- mahaman ini berkembang pendapat (ato teori) bahwa antena Windom sebenarnya lebih berfungsi sebagai sebuah vertikal/ Marconi antenna ketimbang sebagai sem- palan sebuah Dipole.

Merunut teori ini, saltran-nya yang justru berfungsi sebagai radiator utama, se- dangkan bagian flat-top (sisi horizontal) berfungsi sebagai capacitive hat, yang memang biasa dipaké pada antena verti- kal yang ukuran fisiknya tidak bisa dibuat sepanjang 1/4 λ seperti seharusnya. Butir pertama di atas juga menerangkan kena- pa antena Windom bisa bekerja fantastic kalo’ dioperaskan dengan sistim pentana- han/grounding system yang nyaris sem- purna, di mana kondisi dan struktur ta- nah di bawah instalasinya memang men- dukung, seperti dikisahkan bahwa antena Windom akan bekerja sangat baik kalo’ dipaké ‘mancar dari lembah (dengan kan- dungan air tanah yang dekat ke permuka- an), di pantai (tanah/pasirnya mengan- dung garam), ato di bantaran kali...
[73]

Saturday 10 December 2011

Broadband Dipole

Broadband Dipole

P e n g a n t a r
Dari waktu ke waktu, rekan-rekan amatir selalu berusaha untuk mendapatkan sebuah Dipole yang cukup lebar bandwidth-nya, yang diharapkan bisa mencakup lebar band yang 400 kc (3.500 – 3.900 MHz) di band 80M itu.

Dengan “merangkap” atau menambahkan elemen yang sama panjang dengan elemen asli yang 1/2λ -- seperti pada rancangan Folded dan Three-wire Dipole -- memang bisa didapatkan ke-lebaran- band yang agak lumayan (sekitar 200-300 kc), tetapi pendekatan ini lantas belum atau tidak dapat memenuhi “maksud hati” mereka yang mengharapkan impedansi +/- 50 ohm di feed point, supaya tetap bisa diumpan dengan kabel coaxial biasa.

Di akhir tahun 60an, rancangan Double Bazooka dilansir ke masyarakat amatir di Amrik, dan pelan-pelan mendapatkan kepopulerannya sebagai rancangan yang bisa memenuhi kriteria broadband dengan impedansi 50 ohm pada feedpointnya seperti yang diharapkan.


D o u b l e B a z o o k a A n t e n n a
Teori-teori yang mendasari rancangan antenna ini pada awalnya dikembangkan di MIT (Michigan Institute of Technology, ITB-nya Amrik) untuk aplikasi pada radar militer di era perang dingin dasawarsa 60-70an, yang kemudian diadaptasikan untuk keperluan amatir oleh C C Whysall, W8TV dengan artikelnya di majalah QST edisi July 1968. Whysall meng-claim Double Bazooka rancangan- nya sebagai antenna band tunggal (monobander) yang sangat efisien, sangat “hening, nyaris tanpa derau” (very quite) dan tidak memerlukan balun pada pemasangannya.

Antenna ini dibuat dari kabel coax RG-58 biasa (BUKAN dari jenis dengan foam dielectric) dengan shield/outer braid yang di split di tengah (pada feedpoint). Pada kedua ujung (sisi luar) coax tersebut inner dan outer conductornya di short, untuk kemudian disambungkan ke open wire yang berfungsi untuk melengkapi atau menggenapkan ukuran total struktur antenna menjadi 1/2λ.

Panjang masing-masing bagian dihitung dengan rumus: L coax = 99/f untuk bagian atau seksi yang dibikin dari coax (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut “seksi-coax”) dan Lopen wire = {(143- 99)/f} : 2 untuk seksi open wire-nya.

Dengan rumus di atas untuk Double Bazooka dengan center frequency 3.700 Mhz bisa dihitung panjang seksi-coax = 26,75 mtr, dengan panjang open wire sekitar 5-6 mtr per sisi.

Pada pembuatan dan instalasinya yang perlu diingat adalah:
1. Pada masing-masing sisi seksi-coax inner dan outer conductors dari transmission line disambungkan ke outer conductors-nya SAJA. Karenanya dalam pembuatannya inner conductor dari seksi-coax ini TIDAK USAH dipotong atau di split jadi dua seperti pada pembuatan Dipole biasa.
2. Kedua ujung open wire saling dishort. Adjustment pada saat mencari titik resonan dilakukan dengan mengeser-geser titik shorting pada sisi LUAR open wire ini.
3. Open wire BISA diganti dengan TwinLead TV atau kawat biasa. Untuk kokohnya konstruksi paké kawat segedé tapi sepraktis mungkin dari sisi pengerjaan dan handling nya, misalnya dengan kawat dia. 2 mm (AWG # 12)
4. Untuk menghemat lahan, Double Bazooka bisa dibentang sebagai inverted Vee atau inverted U. Pada versi yang belakangan seksi-coax dibentang sebagai sisi horizontal, sedangkan seksi openwire-nya dibiarkan saja ‘ngegantung sebagai sisi-sisi vertikalnya.


Pada pengoperasiannya, inner conductor pada flat top TIDAK ikutan memancarkan (radiate) sinyal. Bagian ini berfungsi sebagai 1/4λ shorted stub yang pada kondisi resonan akan menghasilkan impedansi resistive yang SANGAT TINGGI (very high resistive Z) di feedpoint. Pada frekwensi OFF resonant, reaktansi pada stub akan meng-cancel reaktansi dari struktur Dipole dan sekali gus membuat bandwidthnya jadi melebar.

Dengan SWR 1:1 di 3.700 MHz (kalau ini dianggap sebagai center frequency), maka SWR cuma akan
bergerak naik sampai 1.7:1 pada ujung-ujung band (3.500 dan 3.900 Mz)

BTW, perkembangan zaman melahirkan variant- variant lain dari Double Bazooka ini, dan salah satunya yang perangkum bilang “agak aneh” (karena bentuknya yang ‘nggak simetris) adalah rancangan yang dikembangkan oleh F Witt, AI1H dan dipublikasikan di majalah QST edisi April 1989, seperti tergambar di bawah ini:

Rancangan OM Witt ini lebih “hemat coax” (total length of coax +/- 17 mtr), dan berbeda dengan versi terdahulu, inner dan outer conductors pada seksi-coax yang panjang TIDAK dishort dan dibiarkan terbuka.

Disamping asymetris, yang juga membuat konstruksi versi ini sedikit nylenèh adalah seksi-coax di sayap kiri (pada gambar) terdiri dari dua potong coax yang penyambungannya dilakukan secara transposed atau diplintir: outer potongan pertama disambungkan ke inner potongan kedua dan sebaliknya (!).

Seperti juga rancangan sebelumnya, pada instalasinya rancangan ini bisa dibentang sebagai inverted Vee atau inverted U, TANPA harus mengkhawatirkan perubahan pada pola pancar, take off angle dan properties pancaran lainnya, karena bagian yang benar-benar radiate untuk melempar sinyal (RF) ke angkasa adalah bagian dengan current maxima yang berada pada bagian tengah, dekat dengan feedpoint-nya, sehingga pada versi Inverted Vee maupun U bagian ini akan tetap berada pada posisi tertinggi.

WEATHER PROOFING:
Akhirnya, yang perlu diper- hatikan pada perakitan dan instalasi ke dua versi adalah kenyataan bahwa di feedpoint anda harus “mengupas” salut plastik/vynil dari coax, pertama karena outer braidnya memang harus dipotong dan diberi jarak sekitar 3-7.5 cm satu sama lain, kedua karena penyambungan ke inner dan outer conductors transmission line juga harus dilakukan di situ.

Akibatnya “daerah” feedpoint ini jadi terdadah (exposed) ke udara, sehingga besar kemungkinan air (hujan atau embun) akan meresap masuk ke dalam seksi-coax maupun transmission line-nya. Tempat-tempat lain yang rawan terdadah juga adalah titik sambungan dengan open wire atau single wire (pada kedua versi), serta titik sambung antar-coax pada seksi-coax di sayap kiri (pada versi AI1H). PASTIKAN bahwa titik-titik rawan resapan air ini bisa tertutup RAPAT dengan mengseal-nya paké lem berkwalitas yang dikenal tahan cuaca (weather proof), tahan terpaan sinar ultra violet di udara (UV-resistant) macam lem epoxy (mis.: Araldit, epoxy-steel (yang biasa dipakai untuk ‘nambal sementara kebocoran pada radiator mobil, mis.: Dexton), atau power glue ASLI (mis.: Alteco).

Nah, versi manapun yang anda niatkan mau dirakit, SELAMAT BEREKSPERIMEN ES GL

73, de ybØko/1

Linear Loaded 80M L-Antenna model r-6s

Linear Loaded 80M L-Antenna model r-6s (dengan foot-print yang cuma +/- 7 meteran)

Buat amatir penghuni hunian type RSSSSSS (rumah sangat-sangat-sederhana-sekedar-selonjor-saja) yang masih punya semangat untuk bisa transmit di 80M dengan sangkil dan mangkus (efektip dan efisien), berkhayal naikin antenna jenis horizontal macam doublet, dipole, G5RV, W6JJZ dsb. rasanya bakal out of question, alias lebih baik dilupakan saja. Disamping ketimbang jadi ‘ngenes dan nelongso duluan mikirin sesuatu yang tak mungkin, juga susah untuk tetap mempertahankan ke-sangkil dan mangkus-an antenna macam gitu kalo’ toh mau dipaksakan untuk memperkunthèt (memperkecil) ukuran fisik sampai kurang dari 70-80% ukuran aslinya (itupun berarti masih butuh lahan bebas sekitar 30 meteran untuk ‘ngebentangnya).
So, rasanya lantas cuma jenis antenna vertical-lah yang kemudian layak dipertimbangkan – walaupun kalo’ dipikir-pikir narik atau naikin vertical setinggi 40 meteran juga bukan hal yang gampang – belon lagi mikirin gimana caranya ‘ngebentang sistim radial yang memenuhi persyaratan untuk bisa bekerja dengan sangkil dan mangkus pula (antenna vertical jenis apapun – selama dia dikembangkan dari bentuk asal yang merupakan kelipatan ganjil bilangan 1/4 lambda - baru bisa bekerja sempurna kalo’ dilengkapi dengan sistim radial yang sempurna pula).

Sebenarnya, kalo’ mo’ paké aji-aji “asal bisa mancar”, rancangan Linear Loaded 40M Dipole dengan footprint sekitar 14 meteran yang pernah diwedar di BEON beberapa edisi lewat, yang lantas dibentang sebagai L – Antenna (satu sisi ditegakkan dan sisi lain dibentang horizontal, sehingga dibutuhkan lahan bebas sekitar 7 meteran saja) dan diumpan paké open wire atawa ondo-munyuk sudah cukup memadai, tapi bayangan mesti menyediakan Tuner jenis balanced output biasanya belon pa-apa juga sudah bikin ciut nyali amatir yang kurang suka berhasta karya …….

Dengan merujuk pada prinsip kerja antenna L dan mempertimbangkan pula segi-segi positip rancangan ini, di tulisan ini penulis coba mengaplikasikan kiat Linear Loading model lain untuk mereka-reka sebuah vertical yang rasanya masih bisa dibikin, dirakit dan dinaikin oleh rata-rata amatir sini.

80M Linear Loaded L-Antenna model R-6S
Amati dulu Gambar 1 untuk mengembalikan ingatan kita akan bentuk dasar sebuah L-Antenna, lantas bayangkan gimana caranya memperpendek ukuran yang 2x 20 meteran itu ke ukuran yang masih mudah ketanganan, seperti disebut di awal tulisan ini.

Nah, kalo’ sudah bisa ‘ngebayangin gimana susahnya naikin L-Antenna dengan sisi tegak yang sekitar 20 meteran itu, mari kita tengok Gambar 2, yang memberikan idée gimana caranya memperpendek masing- masing sisi elemen itu jadi sekitar 7-8 meteran saja.

Pada gambar tersebut digambarkan elemen yang dibuat dari tubing aluminium diameter 1/2, 3/4, 7/8 sampai
1 inch, ya sekedar buat mempermudah cara naikinnya saja, karena bertambah besar diameter element akan
lebih mudah pula untuk membuatnya self-standing alias bisa berdiri sendiri (walaupun mungkin masih ada yang merasa perlu untuk ‘ngebentangnya paké guy-wires). Untuk memangkas pembiayaan, TIDAK ada larangan untuk membuat antenna ini dengan konstruksi ALL cable, tentunya dengan mencari kabel yang segedé dan sepraktis mungkin untuk mempermudah proses perakitan. Tapi, dari awal mesti disadari bahwa konstruksi all cable akan membawa konsekwensi antenna mesti diGANTUNG, karena ‘nggak kebayang gimana caranya membuat struktur antenna setinggi 7 meteran itu bisa berdiri self-standing, kan …..

(ybØko doeloe paké kabel speaker MONSTER diameter 2x 5mm untuk ‘ngeksperimen rancangan Linear
Loaded ini, yang lantas digantung di tower dengan feedpoint sekitar 5 meteran dari tanah).


Bahan-bahan:
Item 1 10 btg Aluminium tubing, Ø minimum 1/2” panjang @ 4 mtr.
Item 2 2 btg Aluminium tubing dengan diameter sekitar 1/8” lebih besar dari item 1, karena dibuat untuk bisa telescoping dengan item 1 (mis.: 1” kalau untuk item 1 dipakai tubing 7/8”). Panjang juga @ 4 mtr.
Item 3 4 btg klèm untuk mounting/dudukan elemen, bisa dibuat dari kayu rèng, papan 1-2 cm, acrylic atau fiberglass sheet.
Item 4 8 utas jumpering cable, seyogyanya dari kawat serabut (stranded wire) Ø 2mm (untuk men- jumper antar elemen).
Item 6 secukupnya Peralatan instalasi macam tiang besi (kalo’ ada), klèm tembok, fisher, sekrup dsb.

Perhatikan gambar elemen sisi tegak pada Gambar 2 di atas. Feed point ada pada tubing paling kiri, yang berturut-turut dijumper ke tubing-tubing berikutnya (perhatikan posisi titik-titik sambungan), dan berakhir di tubing yang di tengah. Jarak antara masing-masing tubing +/- 7.5 cm., sehingga keseluruhan struktur antenna ini lebarnya tidak lebih dari 30-45 cm.

Tubing tengah yang di ujung (yang di gambar terlihat mencuat keatas) dibuat untuk bisa digeser keluar masuk tubing di pangkal pada waktu proses penalaan, untuk mendapatkan ukuran panjang yang pas, yang resonant di frekwensi-kerja yang dikehendaki.
Perangkaian sisi horizontal persis mengikuti proses perakitan sisi tegak tersebut diatas.

Penalaan:
Terserah imajinasi anda ‘gimana caranya naikin L-Antenna anda (mis.: dengan di klèm di pager tembok pemisah antar kapling, atau di klèm di lijstplank pada tritisan rumah), tapi pada tahap penalaan usahakan
letak feedpoint ‘nggak lebih dari sekitar 2-3 meteran dari permukaan tanah (ya supaya gampang kalo’ mesti
‘ngapa-2in karena masih bisa kegayuk, walaupun kalo’ perlu sambil sedkit jinjit).

Baik pada elemen tegak maupun horizontal, posisikan tubing ditengah (yang paling ujung) ditengah-tengah tubing pangkal.
Penalaan dilakukan dengan menarik keluar atau mendorong masuk tubing tengah yang di ujung tersebut, dan dilakukan HANYA pada elemen tegak. Kalo’ dengan proses ini belum didapatkan ukuran resonant yang pas (penunjukan SWR minimum pada design frequency), baru proses yang sama dilakukan pada elemen horizontal.
Lakukan proses penalaan ini dengan tabah dan sabar, karena disamping bandwitdh antenna ini cukup sempit, juga tiap saat anda akan menjumpai interaksi (saling berreaksi) antar-kedua-elemen atas apapun yang ada lakukan pada salah satu sisi elemen yang lain.

Jika sudah didapatkan penunjukan SWR minimum (penulis ‘nggak berani ‘njamin SWR 1:1, karena banyak faktor eksternal yang bakal mempengaruhi sèt-sètan dan kinerja antenna anda), baru anda kèrèk atau klèm antenna pada posisi final yang seyogyanya sudah disiapkan dari awal (idealnya sih kalo’ feedpoint bisa berada di ketinggian paling ‘nggak 5-6 mtr dari permukaan tanah).
Mungkin begitu diumpani sinyal akan ada sedikit pergeseran frekwensi resonan atau ke-naik-turun-an penunjukan SWR, tapi biasanya masih masuk dalam jangkauan yang bisa ditolerir (mis.: frekwensi ‘nggèsèr sekitar 40-50 kc, atau SWR naik ‘dikit, tapi masih dibawah 2:1).

Kinerja yang diharapkan:
Secara elektrik (electrically) panjang masing-masing sisi elemen antenna ini adalah 1/4wl, dan dengan pendekatan linear-loading tsb. diharapkan kinerja-nya ‘nggak akan jauh-jauh amat selisihnya ketimbang atau
dibandingkan dengan antenna vertical yang full-size punya.

Kelebihan rancangan L-antenna ketimbang antenna vertical 1/4 lambda biasa adalah pada kenyataan dia bisa bekerja dual-polarization (vertical dan horizontal), dan dengan posisi feedpoint yang off-ground dia TIDAK memerlukan radial system (yang instalasinya toh akan memakan tempat) untuk bisa bekerja sempurna.
Walaupun ukuran-nya cuma jadi sekitar 1/10 lambda, dengan aperture (bidang tangkap) yang lebar (sekitar
0.40 x 4 mtr = 1.6 m2, ketimbang aperture pada antenna vertical biasa - taruhlah yang dibuat dari tubing 2” - yang sekitar 1 m2) diharapkan receivingnya juga lebih baik. Disamping itu, karena off-ground dia juga tidak bakal se noisy vertical antenna biasa …….

Index Title

Masih Ingat Kan Ya?  Jun-01    0101 No Title
Masih Ingat Kan Ya?  Jul-01    0102 No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Aug-01   0103    No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Sep-01   0104   No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Oct-01   0105   No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Nov-01   0106   No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Dec-06   0107   No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Jan-02   0108 No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Feb-02   0109  No Title
Masih Ingat Kan Ya?  Mar-02    0110   No Title
Masih Ingat Kan Ya?   Apr-02   0111    No Title
Masih Ingat Kan Ya?   May-02   0112   No Title

Ngobrol Ngalo Ngidul   Jun-02   0201   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jul-02   0202   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Aug-02   0203   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Sep-02   0204   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Oct-02   205   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Nov-02   0206   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Dec-02   0207  No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jan-03   0208   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Feb-03   0209No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Mar-03   0210   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Apr-03   0211No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   May-03   0212   No Title
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jun-03   0301   Saluran Transmisi
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jul-03   0302   Saluran Transmisi, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Aug-03  0303 Lebih Jauh Mengenai Saltran
Ngobrol Ngalo Ngidul   Sep-03   0304  Konektor dan Impedansi Saltran
Ngobrol Ngalo Ngidul   Oct-03   0305  Z-Match Tuner/Zee Matcher
Ngobrol Ngalo Ngidul   Nov-03   0306  Z-Match Tuner/Zee Matcher, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Dec-03   0307  Bahan Antena
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jan-04   0308   Tubing
Ngobrol Ngalo Ngidul   Feb-04   0309   Tubing — Boom
Ngobrol Ngalo Ngidul   Mar-04   0310   Subtitusi Komponen Perakit Antena
Ngobrol Ngalo Ngidul   Apr-04   0311   Subtitusi Komponen Perakit Antena  Spreader
Ngobrol Ngalo Ngidul   May-04   0312    Thumb Rules of an Antenna
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jun-040   401   BALUN
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jul-040   402   BALUN, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Aug-04   0403   BALUN, bagian III
Ngobrol Ngalo Ngidul   Sep-04   0404   BALUN, bagian IV
Ngobrol Ngalo Ngidul   Oct-04   0405   Omni Directional Antenna Untuk Band 2 M
Ngobrol Ngalo Ngidul   Nov-04   0406   Omni Directional Antenna Untuk Band 2 M, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Dec-04   0407   Omni Directional Antenna Untuk Band 2 M, bagian III
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jan-05   0408   W3EDP, rancangan antenna untuk penghuni kapling BTN 6 x 15 m2
Ngobrol Ngalo Ngidul   Feb-05   0409 S - METER
Ngobrol Ngalo Ngidul   Mar-05   0410   Wire Beams Untuk Band 40 m
Ngobrol Ngalo Ngidul   Apr-05   0411   Wire Beams Untuk Band 40 m, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   May-05  0412 End Fed Antenna

Masih Ingat Kan Ya?   Jun-05   0501Broadband Dipole
Masih Ingat Kan Ya?   Jul-05   0502   Antenna Properties
Masih Ingat Kan Ya?   Aug-05   0503 Antenna Properties, bagian II
Masih Ingat Kan Ya?   Sep-05   0504   Antenna Properties, bagian III
Masih Ingat Kan Ya?   Oct-05   0505   Merancang “Shortened (Dipole) Antenna”
Masih Ingat Kan Ya?   Nov-05   0506   Merancang “Shortened (Dipole) Antenna”, bagian II
Masih Ingat Kan Ya?   Dec-05   0507  Merancang “Shortened (Dipole) Antenna”, bagian III
Masih Ingat Kan Ya?   Jan-06  05083  Bander Antenna (80-40-15 m) Dipole
Masih Ingat Kan Ya?   Feb-06   0509  Rancangan Antena Untuk DXing di Low-Band (160 m)
Masih Ingat Kan Ya?   Mar-06   0510   Rancangan Antena Untuk DXing di Low-Band (160 m), bagian II
Masih Ingat Kan Ya?   Apr-06   0511   Berjenis Transmitting Antenna untuk 160 m
Masih Ingat Kan Ya?   May-06   0512   RX Antenna 160 m

Ngobrol Ngalo Ngidul   Jun-06   0601  RX Antenna 160 m, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jul-06   0602   Single Wire Line sebagai Saltran
Ngobrol Ngalo Ngidul   Sep-06   0603   Single Wire Line sebagai Saltran, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Oct-06    0604   Penyalur Petir Pro untuk Aplikasi Radio Amat
Ngobrol Ngalo Ngidul   Nov-06   0605   Article is Missing in File
Ngobrol Ngalo Ngidul   Dec-06   0606   Article is Missing in File
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jan-07   0607  NO TUNER Multiband Dipole, bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Feb-07   0608   NO TUNER Multiband Dipole, bagian III
Ngobrol Ngalo Ngidul   Mar-07   0609   Article is Missing in File
Ngobrol Ngalo Ngidul   Apr-07   0610   Article is Missing in File
Ngobrol Ngalo Ngidul   May-07   0611   Article is Missing in File
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jun-07   0612   40m Half Square Antenna
Ngobrol Ngalo Ngidul   Jul-07   0701   Meningkatkan kinerja Half Square
Ngobrol Ngalo Ngidul   Aug-07   0702  Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky- wave)
Ngobrol Ngalo Ngidul   Sep-07   0703   Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky wave), bagian II
Ngobrol Ngalo Ngidul   Oct-07   0704   Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky wave), bagian III
Ngobrol Ngalo Ngidul   Nov-07   0705   Dual Band (80-40m) no-tuner shortened Dipole

obrolan Antena ManIa   Aug-11   1108  Antena SuperLoop III (80TM) rancangan Jim, W4FTU*)
obrolan Antena ManIa   Sep-11   1109   CAROLINA WINDOM® Compact™ Antenna
obrolan Antena ManIa   Oct-11   1110   Smith Chart
obrolan Antena ManIa   Nov-11   1111   80/40m (dan band-band lain) dengan Tuned feeders


Ngobrol Ngalor Ngidul 0705

Ngobrol Ngalor Ngidul 0705

Dual Band (80-40m) no-tuner shortened Dipole


kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat Ja-Um: buletin@orari.net MILIST: orari_news@yahoo.groups.com
JaPri: unclebam@gmail.com


Salah satu obsesi penulis adalah mengembangkan rancangan antena yang bisa  dirakit  sendiri  oleh  mereka yang ‘pingin kerja di low-band HF (80-40m), tetapi terkendala oleh keterbatasan la- han. Antena “impian” ini harus memenuhi design criteria sebagai berikut:

1. Bentangan tidak lebih dari 2 x 10 mtr.;
2. Cukup  broadband  sehingga  bisa  di- paké TANPA ATU di  80-40m;
3. Cukup  efisien  di  band  80m  dimana panjang total antena < 1/4λ;
4. Bahannya mudah didapat dengan har- ga yang terjangkau;
5. Pembuatannya tidak merepotkan mereka dengan kemampuan dan pera- latan berhasta karya yang serba “pas- pasan”.

Dari pengamatan selama 3 tahunan me- makai rig dual-bander (80-40m) TTE T-17 besutan  OM  Supardi,  YB3DD  -  penulis brani menyimpulkan bahwa banyak peng- guna rig ini tidak bisa meng-optimal-kan kinerjanya (terutama di 80m) karena ketiadaan antena yang cukup efisien un- tuk   “mendongkrak”   pancaran   dengan output yang +/- 50 watt itu.

Antena   Vertikal,   kendati   footprint-nya kecil (= hemat lahan) bukan merupakan solusi, karena memerlukan Grounding System yang cukup ekstensip untuk bisa berkinerja optimum — dan ini berarti kem- bali  ke ihwal yang berkaitan dengan lua- san lahan yang cukup untuk menggelar sistim pertanahan tersebut. Lagi pula antena vertikal take-off angle-nya rendah (bagus untuk DX-ing), yang justru kurang menguntungkan bagi rekans yang  mem- butuhkan antena untuk dipakai sehari- hari dengan area cakupan dari Sabang sampé Merauke saja.

Memang ada rancangan trap Dipole (dengan SDL/Spiral Delay Line trap ran- cangan Lattin, W4JRW yang juga dipro- duksi di bengkel YB3DD) atau Loaded Dipole besutan OM Alriyanto YBØFH (yang sudah pernah diulas di BeON), tetapi kembali ini akan menambahkan kerepot- an bagi mereka yang berkantong cekak (kalo’ mesti beli) ato yang berkemam- puan berhasta karya yang tibang pas (kalo’ mesti bikin sendiri, seperti disebut di butir 5 di atas). Kalo’ ‘mbikinnya asal- asalan, bagaimanapun trap dan loading coils akan introducing losses yang dapat mengurangi efisiensinya.

“The  Mistery Antenna” rancangan W5GI yang versi sini-nya sempat penulis coba populerkan sebenarnya nyaris memenuhi kriteria di atas, tetapi bentangan yang 2 x 15 mtr dan kesulitan mendapatkan kabel
TV untuk matching  stub-nya  cukup  mem- buat keder rekans untuk menjajalnya, walo pun kendala ini bisa diatasi dengan mene- kuk bagian ujung yang 5 mtr/sisi itu ke bawah, dan mengganti kabel TV-nya de- ngan open wire buatan sendiri.

Merujuk design criteria di atas, berikut di- wedar rancangan yang penulis kembang- kan dari rancangan klasik Fan Dipole (ato Antena  Kumis  Kucing,  kata  orang  sini), yang aslinya merupakan 2 buah (ato lebih) Dipole yang diumpan jadi satu di feedpoint- nya (lihat Gambar 1).


Untuk     memendekkan     masing-masing Dipole  supaya  bisa  “masuk”  ke  design criteria  butir  pertama  dipakai  dua  kiat pemendekan antena yang berbeda, yaitu dengan   menekuk   (to   bend)   masing- masing ujung sayap ke arah dalam (untuk mendapatkan   sebuah   bent   Dipole   di  40m, Gambar 2), 


dan dengan memakai Linear Loading — yang merupakan kiat pemendekan antena favorit penulis — un- tuk elemen di band 80m (Gambar 3).


Dengan menggabungkan Gambar 2 dan 3 akan  didapatkan  sebuah  Fan  Dipole  de- ngan elemen yang dibonsai (dipendekkan) seperti  yang  diinginkan.  Pengembangan- nya dilakukan lewat beberapa tahap, sam- pai  didapatkan  tongkrongan  akhir  yang paling memenuhi design criteria di atas. 


Pada tahap awal dikembangkan rancang- an seperti di Gambar 4, di mana penulis menggunakan     kabel     dwi-konduktor (penulis paké kabel audio Monster 2x50 sepanjang 10 mtr/sisi), yang dalam kon-Elemen 40m figurasi seperti pada gambar (garis tebal A-A’) difungsikan sebagai sebuah bent- dipole untuk band 40m.

Di titik A’, salah satu dari dua konduktor disambungkan dengan kawat/kabel yang akan berfungsi sebagai konduktor ke 3 (di tengah) pada segmen 3-wire yang membentuk Linear Loading device (LLd) bagi shortened 80m dipole-nya.

Di titik B LLd disambungkan ke kawat/ kabel B-B’ yang berfungsi sebagai pig-tail (kawat penyambung) sepanjang 3 mtr yang melengkapi LLd ini untuk bisa reso- nan di 80m.

Segmen 3-wire ini dirakit dengan   jarak antar konduktor @ 5 cm, dengan meng- gunakan spacer dari potongan pipa PVC. Untuk tidak terlalu mengurangi efisiensi- nya,  jarak  dari  titik  A  ke  B  bisa  dibuat antara 6-8 mtr (penulis mengambil jarak moderat  7,5  mtr  semata  atas  pertim- bangan praktis: ukuran inilah yang bisa “masuk” di teras belakang QTH penulis, sehingga  mempermudah  pengerjaan  di bawah hujan yang hampir tiap hari turun di musim “basah” ini)


Dengan konfigurasi seperti di Gambar 4 masing-masing Dipole ditala (dengan proses pruning & trimming)   untuk reso- nan di 3.860 dan 7.055 MHz yang me- mang penulis niatkan sebagai design fre- quencies rancangan ini (menuruti default frequencies pada T-17). Ternyata konfigu- rasi ini GAGAL memenuhi design criteria butir  2  karena  sempitnya    bandwith  di 80m. Lagipula penggunaan kabel   dwi- konduktor dengan spasi antar-konduktor yang begitu rapat membuat interaksi antar-band yang amat “tajam”, sehingga adjustment di salah satu band akan membuat  titik  resonan  di  band  lainnya lari kemana-mana.


Perbaikan  dilakukan  dengan  memisahkan (splitting) dwi-konduktor dan mem- perbesar jarak antar konduktor (dari se- mula 10 cm menjadi 15 cm)   di titik B, dimana elemen 40m (digambarkan de- ngan garis biru) ditekuk sampé memben- tuk belokan U (U-turn).


Dengan konfigurasi seperti ini penalaan di masing-masing band bisa lebih mudah dilakukan karena tidak lagi ada masalah dengan interaksi antar-elemen.

Untuk memperlebar bandwidth di 80m, segmen pigtail B-B’ kemudian diganti dengan 2-wire open wire, sehingga dida- pakan  tongkrongan akhir seperti di Gambar 6 di halaman berikut.



Insya Allah  di edisi depan  bisa penulis punggah foto-foto proses perakitan Fan Dipole “gado-gado” yang menggabungan dua kiat pemendekan antena ini, serta pertelaan bagaimana penalaan dilaku- kan, terutama proses pruning & trimming segmen B-B’ untuk membuatnya cukup broadband (> 200 KHz) di 80m.


CU then …. [73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0704

Ngobrol Ngalor Ngidul 0704

Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky wave),  bagian III


kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat Ja-Um: buletin@orari.net MILIST orari_news@yahoo.groups.com
JaPri: unclebam@gmail.com

Sekedar mengingatkan kembali, antena militer  AS2599/GR dirancang  sebagai antena portable yang bisa ditenteng- tenteng operatornya untuk bekerja (de- ngan ATU) pada  rentang Frekuensi 2-30 MHz, dan dengan rentang frekuensi tersebut sebenarnya tidak di optimize untuk aplikasi NVIS di lingkungan amatir, apalagi di YB-land yang lebih mengandal-kan band 80 dan 40m untuk jaringan  komunikasi  lokal  dan  regional  di  saat- saat darurat ato bencana.

Juga keharusan menggunakan ATU ten- tunya akan mengurangi fleksibilitas ke-seluruhan konfigurasi,     walaupun sekarang ini sepertinya ATU (baik yang internal/built in maupun  yang  merupa- kan independent unit) sudah merupakan “kelengkapan wajib” di tiap stasiun, baik yang di base, portable maupun mobile.

Untuk menyesuaikan modifikasian AR2599/GR versi Jelinek N6NVG (yang diwedar di edisi kemarin) dengan sikon lokal, penulis mencoba mengadopsi rancangan antena dualband 80-40m untuk dikombinasikan  dengan  cara  perakitan (dan instalasi) versi N6NVG tersebut.

Versi gado-gado ini menggunakan 40m sebagai band utama untuk bekerja baik di siang maupun malam hari, dan 80m sebagai band cadangan di saat propaga- si kurang mendukung untuk terus beker- ja di 40m.

Sebagai “bahan racikan” penulis ambil antena dualband 80-40m yang diperke- nalkan OM Alrijanto YBØFH (yang pernah naik tayang di   BeON   beberapa   tahun silam) yang secara skematik bisa di- amati di Gambar 2.


Antena dualband 80-40m ini aslinya adalah sebuah Dipole untuk band 40m yang diberi loading coil (yang berfungsi sebagai trap) untuk membuatnya seka-ligus bekerja di 80m. Karenanya, proses perakitan antena (untuk ber)NVIS ini diawali dengan menyiapkan 2 (dua) set 40m Dipole, taruhlah yang ditala di frek- wensi tengah band tersebut (7.050, ato bikin  aja  untuk  resonan  di  frekwensi Nusantara Net yang di 7.055 MHz itu). 

Kembali merujuk ke Gambar 1, set per- tama    nantinya    difungsikan    sebagai “short   wire”,    sedangkan    set    ke-2 sesudah  ditambahkan  loading  coil  dan PigTail-nya serta ditala di 80m (tarohlah dibuat resonan di 3.860 MHz) nantinya difungsikan sebagai sebagai “long wire”- nya.

Proses perakitan dan instalasi dilakukan persis sama ato mengikuti proses pada
pembuatan versi Jelinek N6NVG yang diwedar di BeON 0703 yang lalu, yang bisa disarikan sebagai berikut:

1. Instalasi   dibuat   seperti   instalasi   2 buah Inverted Vee yang dibentang saling menyilang ke 4 arah, sehingga bentangan elemen antenna/radiator dapat sekaligus berfungsi sebagai guy wires bagi mast/tiang utama (yang di tengah).
2. Mast  dibuat  dari  bahan  non  metal/ non-conductive (pipa PVC/fiberglass, dia. 1.5”) setinggi +/- 5 mtr.
3. Ujung-ujung radiators ditarik (ke luar) ke 4 arah dan diikatkan ke tiang pan- cang.  Usahakan  ujung  radiators berada pada titik +/- 2 mtr DPT/dari permukaan tanah. Gunakan snaar pancing nylon sebagai perentang antara isolator di ujung radiators de- ngan ikatan di tiang pancang.
4. SEYOGYANYA  kedua   set  Dipole  di- bawa ke lapangan (untuk dirakit dan di install)  dalam keadaan SUDAH ter- tala  (tuned to resonant).  Dalam  kon- disi seperti ini pemakaian ATU sudah tidak terlalu diperlukan.
5. Dengan  konfigurasi  seperti  di  atas, bandwith di 80m akan terlalu sempit (+/- 50 KHz) untuk dioperasikan tan- pa ATU. Untuk “sedikit” memperlebar bandwidth ini gantilah Pigtail dengan kabel dwi-konduktor (misalnya kabel speaker Monster). Dalam keadaan Pigtail sudah tersambung dengan radiator 40m + loading coil, tala an- tena untuk resonan di sekitar 3.600 MHz (kalo’ juga diniatkan bekerja de- ngan mode CW) ato 3.700 MHz (voice only). Proses berikutnya adalah me- motong ’dikit-demi-’dikit salah satu konduktor sehingga didapatkan resonansi di sekitar 3.850 MHz ...
6. Nah, TANPA  mengharapkan  sering- sering terjadi bencana yang mengha- ruskan anda ber NVIS, tidak ada salah- nya untuk membuka payung sebelum hujan dengan segera menyiapkan NVIS antenna anda …..

Selamat bereksperimen ES GL …. [73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0703

Ngobrol Ngalor Ngidul 0703

Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky wave), bagian II

kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat Ja-Um: buletin@orari.net MILIST orari_news@yahoo.groups.com
JaPri: unclebam@gmail.com


Di  bagian akhir edisi yang  lalu penulis menjanjikan untuk mengulas tentang antena  militer  AS2599/GR, yang didisain sebagai pengganti antena Whip/ pecut pada Radio Gendong Militer PRC- 47 pada saat diperlukan area cakupan yang tidak bisa dijangkau dengan Whip antenna, misalnya pada saat harus me- mancar dengan NVIS.

Rancangan ini berupa dua buah Inverted Vee yang direntang saling menyilang dari SATU tiang (setinggi +/- 5 mtr), dengan memanfaatkan kaki-kaki elemen antena sebagai guy wires bagi tiang tersebut. 

Inverted  Vee  pertama  dipotong  untuk bekerja di F1 (band bawah, dus elemen yang panjang), sedangkan yang ke dua dipotong untuk F2 (band atas, elemen lebih  pendek),  yang  secara  skematik terlihat seperti pada Gambar 1.

Foto AS2599/GR bisa dilihat di halaman 5 BeON # 0702, dan sketsanya dapat dilihat sebagai Gambar 2 di halaman ini. AS2599/GR dibuat sesuai standard Mil- specs  (laik  dipakai  di  lingkungan  dan untuk aplikasi militer) dengan spesifikasi sbb.:
• Rentang Frekuensi: 2—30 MHz
• Polarisasi: Horizontal + Vertikal
• Power Handling: 1 KWatts
• Pola radiasi: Omnidirectional
Untuk ber-NVIS di lingkungan amatir, di tahun 1998 Dr. Carl O. Jelinek N6NVG memperkenalkan rancangan yang dia- dopsinya dari AS2599/GR itu, yang bisa dibikin dengan mempergunakan bahan- bahan yang sehari-hari mudah di dapat di lingkungan “orang sipil” - yang kita highlight di edisi ini.


N6NVG NVIS Antenna
Bahan yang diperlukan (daftar disesuai- kan dengan apa yang bisa didapat di sini):
2 btng     Pipa PVC dia. 1.5”
1 bh        Bloksok  dia.  1.5”  untuk  me- nyambung pipa di butir 1
1 bh        PVC Cap/dop 1,5”.
1 bh        Coaxial    connector    SO-239, lengkap dengan 4 set sekrup/ baut untuk memasangnya
40 mtr     Kabel bersalut, dia. 1.2-2 mm.
4 bh        isolator  untuk  ujung  masing- masing elemen
2 bh     sepatu    kabel    (cable  shoe/ kabel schoen)  model  ring,  un- tuk menjepitkan elemen  (yang                       grounded) ke “body” SO-239
Kabel coax RG-58, panjang secukupnya untuk   bisa   mencapai   “meja operator” 
Snaar pancing nylon secukupnya untuk merentang elemen 


Gambar 3 - TOP view dari PVC cap di ujung Tiang (Lihat text, Drawing NOT to scale)

Pembuatan, Pemasangan & Penalaan
• Buat  lubang  dia.  0.5”  pada  PVC  Cap untuk dudukan SO-239 dan sekrup/ bautnya (Gambar 3)
• Pasang  SO-239  dengan  menyekrup- kannya di  lubang pada PVC Cap.
• Potong kabel elemen sesuai ukuran di gambar 3: sisi pendek 2x7.62 mtr, sisi 7.62 mtr panjang 2x 11.58 mtr
• Pasangkan sepatu kabel pada elemen (bertanda GND pada Gambar 3) yang nantinya dikonèk ke salah satu pojok SO-239, pasangkan pula isolator pada ujung luar keempat elemen
• Panjang standard   pipa PVC = 4 mtr, jadi potong 2.5 mtr dari masing-masing pipa, kemudian sambung dengan blok- sok untuk mendapatkan ketinggian tiang +/- 5 mtr (atau lakukan penyam- bungan ini di”lapangan”)
• Pasangkan cap di ujung tiang, kemu- dian naikkan tiang dengan mengguna- kan  masing-masing  elemen  sebagai guy wires yang dibentang ke empat arah.
• Antena  sudah  siap  untuk  dipakai  — TENTUNYA dengan menggunakan ATU/ Antenna Tuning Unit  — karena dengan ukuran  elemen  (yang  masing-masing 2 x 7.62 dan 2 x 11.58 mtr) seperti itu antena ini tidak akan resonant di fre- kuensi manapun, apalagi di band amatir (!)


BTW, dengan footprint yang nyaris men- capai 26 x 26 m2 antenna ini rasanya “agak kegedéan” kalo’ cuma untuk di- paké berNVIS di 80 dan 40m. Di edisi depan kita coba sedikit men”jinak”kan ukuran-ukuran tersebut, TANPA harus mengkorbankan efisiensinya ….
[73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0702

Ngobrol Ngalor Ngidul 0702

Pancaran NVIS (Near-Vertical Incident Sky- wave)

kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat Ja-Um: buletin@orari.net MILIST orari_news@yahoo.groups.com JaPri: unclebam@gmail.com

Sebutan NVIS — Near-Vertical Incident Skywave merujuk kepada pancaran (sinyal) radio di band HF, yang meng- gunakan antena dengan Take off Angle mendekati 900 (nyaris tegak lurus) serta pilihan frekuensi (MUF/maximum usable frequency) yang tepat untuk menjalin jaringan komunikasi jarak dekat yang mencakup radius 0-300 Km.

Dengan antena Dipole biasa dengan feedpoint  di  ketinggian  ≥  1/4λ (10/20 mtr  untuk band 40/80m), pada jam-jam tertentu (tergantung frekuensi yang dipakai) sering terjadi jarak segitu tidak bisa diliput dengan baik karena adanya skip zone: area yang terlalu jauh untuk rambatan   ground wave, tetapi   belum cukup jauh ato masih terlalu dekat untuk  menerima  pantulan  sky wave dari ionosfir.

Pada   dasarnya,  keberhasilan  komuni- kasi   NVIS   adalah   merupakan   hasil “kolaborasi” yang pas antara tiga faktor: Power, pilihan Frekuensi dan Hi-Take off (Elevation) angle.


Konsep ato pengertian High Take Off angle (pada Gambar 1 digambarkan dengan garis solid) dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi kalo’ anda menyemprotkan (lewat selang) air ke langit-langit (plafond) kamar anda. Bertambah rendah sudut kemiringan semprotan, bertambah jauh pula jatuhnya air yang dipantulkan; se- dangkan  kalo’  anda  arahkan  selang hampir tegak lurus ke atas, bisa-bisa anda sendiri basah kuyub keguyur air yang dipantulkan langit-langit yang hampir tepat di atas kepala anda (ato dalam hal sinyal/RF pancarannya jadi memantul dan menyebar ‘nggak jauh- jauh amat dari sumbernya).

Dengan memakai Dipole seperti yang disebut  di  paragrap  awal,  pancaran dengan Hi Take Off angle bisa didapat jika ketinggian feedpoint diturunkan sampai sekitar 2-4 mtr saja dari per- mukaan tanah.

Dalam praktek, di samping untuk aplikasi di lingkungan militer, NVIS dipakai dalam menunjang sistim komunikasi darurat di saat bencana ato EmComm/emergency comunication -  karena  beberapa  karak- teristiknya yang memang sangat pas untuk aplikasi semacam itu:

1. Tidak ada skip zone (seperti pada pancaran sky wave)
2.  Dapat menekan derau dan gangguan statik/QRN, mengurangi fading/QSB serta interference/QRM, yang pada umumnya bersumber dari luar daerah cakupan (yang bisa ketangkap lewat antena dengan Low Take Off angle)
3.  Penekanan QRN + QRM berarti S/N (signal to noise) ratio yang lebih baik (yang   tinggi),   yang   memungkinkan dipakainya pemancar berdaya rendah (lo-power).
4. Pemakaian pemancar berdaya rendah (TIDAK berarti harus QRP) sangat menguntungkan dalam kondisi terba- tasnya sumber catu daya (yang umum terjadi pada operasi militer ato di lo-kasi  bencana).
5. S/N  ratio  yang  tinggi  sangat  ideal (kalo’ diperlukan) bagi dipakainya mode RTTY, PACTOR, PSK31 ato CW di samping mode voice/phone.
6. Kondisi  terrain  ato  topografi  lokasi yang  tidak  memungkinkan  pancaran di band VHF/UHF (misalnya di daerah lembah, ceruk ato jurang, lokasi yang dikelilingi  pepohonan  lebat  atau  hutan yang menghalangi LOS/line-of- sight path) TIDAK akan mempe- ngaruhi NVIS.
7. Tidak   memerlukan   dukungan   dari fihak ketiga (dalam bentuk repeater — baik yang di darat maupun yang berupa satelit di angkasa).
8. Karena tidak memerlukan ketinggian posisi feedpoint, instalasinya relatip lebih mudah, yang memungkinkan untuk ditangani seorang diri  (sangat ideal bagi anggota pasukan komando ato  operator  EmComm  yang  harus bisa beroperasi secara mandiri).

Merujuk pada 8 points di atas, para prak- tisi dan pengguna NVIS bersetuju bahwa gabungan antara  Elevation angle 45-90 derajad, Power 20-50 watt dan Frekuensi antara 2-8 MHz adalah merupakan kom- binasi  ideal  bagi  keberhasilan  komuni-kasi NVIS.


Untuk ukuran Indonesia, pancaran NVIS memungkinkan dipakénya perangkat HF saja (= penghematan dari segi lojistik) untuk komunikasi dengan cakupan lokal (se Kabupaten) ato regional (se Propinsi). Kalo’  toh  sikon  memerlukan  jangkauan pancaran   yang   lebih   jauh   (misalnya dalam kondisi darurat ato bencana yang mengharuskan dikirimkannya laporan ke Pusat) maka posisi feedpoint Dipole yang disebut di atas tinggal dikèrèk aja, kem- bali  ke ketinggian ≥ 1/4λ tadi.

Sejarah dan perkembangan NVIS 
Selama    perang    Vietnam    US    Army (Angkatan Darat AS) melakukan serang- kaian  studi  untuk  meningkatkan  kean- dalan   sistim   komunikasi   HF   mereka, yang dilakukan baik di lapangan maupun di  dan  dari  beberapa  base/pangkalan mereka di daerah aman di wilayah Thailand.

Mereka menemukan bahwa komunikasi yang lebih reliable (handal) dapat terjalin antara base-station dengan stasiun mo- bile  (apakah  itu  jip,  panser,  tank  dsb) kalo’ whip antenna pada kendaraan itu ditekuk sampai hampir sejajar dengan permukaan tanah.
                                                                         
Dengan cara itu pancaran dari mobile stations tersebut memang diterima lebih lemah, tapi komunikasi antar-setasiun justru bisa terjalin lebih konsisten, han- dal dan nyaris tanpa   fading (QSB); dan ini diyakini bisa terjadi karena   antena pecut yang ditekuk demikian akan menghasilkan  pancaran  dengan  sudut
elevasi yang cukup tinggi (antara 45-90 derajad)

Hasil studi tersebut di awal 80an dipu- blikasikan di majalah internal mereka “Army Communicator” oleh LetKol David Fiedler,  yang  menyebutkan  juga bahwa NVIS  sudah  digunakan  oleh  pasukan Nazi Jerman   pada PD-II, dan juga oleh pasukan Blok Timur di berbagai daerah konflik, baik di dalam maupun di luar negeri pada era Perang Dingin. 

[menurut beberapa sumber, di era konfrontasi (dengan Malaysia, ta- hun 60an) tehnik NVIS sudah di- pake   oleh   pasukan   KKo/Marinir ALRI yang disusupkan ke wilayah Kalimantan Utara de-ngan perala- tan komunikasi yang memang— waktu itu — dipasok oleh Rusia/Uni Soviet]

Di lingkungan amatir radio (di Amrik) sejak musim panas tahun 1990 Patricia Gibbons - WA6UBE (penggiat Backpack-ing dan EmComm) aktip melakukan pe-maparan   tentang   konsep   NVIS   tidak hanya di berbagai pertemuan Klub Radio di tingkat lokal, tetapi juga di depan pe- serta 2x Konvensi ARRL wilayah Pantai Barat. Pemaparan biasanya diikuti de- ngan life demo yang dia lakukan dari truk (bekas/dump) punya Signal Corps/Dinas PHB militer yang dipakainya sebagai mo- bile hamshack, sesuai dengan fungsi asli truk tersebut  (Gambar 2).

Di tahun 1995, Ed Farmer AA6ZM menu- lis panjang lebar tentang NVIS ini dalam artikelnya di majalah QST edisi January 1995, yang lantas diikuti dengan boom penggunaan NVIS pada acara Field Day, di lingkungan ARES/RACES serta operasi EmComm pada umumnya.

NVIS dalam praktek
Antena   paling   sederhana   yang   dapat anda  NVIS-kan  adalah  sebuah  Dipole 1/2λ yang  dibentang  dengan  feedpoint sekitar 2-4 mtr diatas permukaan tanah. Jika anda meragukan konduktifitas tanah di bawah bentangan Dipole tersebut, bentangka n     seutas     reflektor     di bawahnya, dengan jarak (spasi) 0.15λ di antara kedua elemen. Reflektor dibuat dari   kawat/kabel   yang   sama   dengan yang digunakan untuk ‘ngebahan antena, dengan  ukuran  sepanjang  1/2λ + 5% (lihat Gambar 3).


Dari serangkaian eksperimen yang dila- kukannya, Pat Lambert, WØIPL menemu- kan  bahwa  ketinggian  0.05λ (+/- 4 mtr untuk  band  80m,  ato  +/-  2  mtr  untuk 40m) sudah cukup memadai untuk ber- NVIS. Pat juga mendapati bahwa menu- runkan ketinggian feedpoint Dipole 80m dari  10  mtr  (1/8λ) ke  2.50  mtr  dapat menurunkan   back-ground   noise   level dari S7 ke S3 (!).

Kalo’ lahan “tidak mendukung” untuk membentang full size Dipole, salah satu cara  untuk sekedar bisa berkomunikasi, adalah dengan membuat sebuah bracket khusus untuk memasang 2 buah antena  mobil 1/4λ (di Amrik banyak dipaké merk HamStick, yang versi 80m-nya  cuma +/-   2.5 mtr panjangnya) secara back-to- back/bertolak belakang dalam posisi horizontal, sehingga masing-masing Hamstick jadi berfungsi sebagai satu sayap dari sebuah Dipole. Dipole bonsai ini lantas diumpan dari tengah (pada titik sambung antara kedua pin inner conductor) seperti Dipole biasa, dengan menyelakan choke balun (versi seder- hananya dibuat dari 6-8x gulungan coax RG-58 dengan diameter 20-30 cm) pada titik sambung feedpoint dengan coax ke TX untuk mengantisipasi turunnya feedpoint impedance pada Dipole sependek itu.

Sekali lagi, Dipole bonsai macam gini hanya dianjurkan pada sikon yang bener- bener darurat, yang tidak memungkinkan untuk menaikkan   antena jenis yang footprint-nya lebih gedéan. Dengan ukur- an yang cuma segitu, penulis meragukan tingkat efisiensi dan efektifitas-nya untuk bisa menjamin a consistent and reliable QSO!

Cara lain yang lebih well-proven adalah dengan menyontèk para operator militer yang menekuk (ato membuatkan bracket khusus)   whip   antenna   di   kendaraan anda sehingga bisa membentuk sudut sekitar 30-45 derajad (lihat Gambar 4).


Di edisi depan wedaran tentang NVIS ini kita teruskan dengan membahas beberapa rancangan antena yang memang  dirancang untuk ber-NVIS,  a.l. versi amatir dari AS25999/GR yang ter- pajang di Gambar 2. 

CU then ....
[73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0701

Ngobrol Ngalor Ngidul 0701

Meningkatkan kinerja Half Square

kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat Ja-Um: buletin@orari.net MILIST orari_news@yahoo.groups.com JaPri: unclebam@gmail.com

Dengan  lahan  yang  tibang  pas  untuk membentang    sebuah    Dipole    1/2λ, penambahan kuncir  1/4λ pada  masing- masing    ujungnya   serta    penggeseran feedpoint   ke   salah   satu   ujung   akan merubah  kinerja  Dipole  tersebut,  dari yang semula sekedar “asal nyampé” buat QSO domestik menjadi piranti andal buat nge-DX. Inilah kesan yang didapat para pengguna   antena   Half   Square   (yang diwedar di BeON edisi kemarin), walopun gagasan   awal   Woody   Smith   W6BCX (penemu  rancangan  ini)  adalah  untuk meningkatkan kinerja sepasang Inverted Ground Plane, yang pada kondisi aslinya memang sudah dikenal karakteristiknya sebagai Low Take Off angle radiator itu.. 

Sayangnya, sebagai pengembangan dari antena  vertikal  (Inverted  Ground  Plane kan pada dasarnya antena vertikal biasa yang diumpan dari atas), maka Hi Square mewarisi salah satu karakteristik antena vertikal,    yaitu    BANDWIDTH-nya    yang sempit.    Pengumpanan    bareng-bareng kedua    1/4λ  Inverted    Ground    Plane tersebut (lewat  1/2λ phasing line) hanya sedikit saja bisa memperlebar band- widthnya  (memang  sih  jadi  lebih  lebar dari vertikal biasa, tapi tidak terpaut jauh dari sebuah Dipole).

Ini yang membuat gundah para pe-DX, terutama yang gemar ikutan kontes dengan   multi-mode,   karena   tentunya akan sangat tidak praktis kalo’ mesti re- tuning ATU-nya tiap kali ganti mode dari CW, ato Digimode ke Phone dan sebaliknya, terlebih lagi di low band HF yang antara kedua mode frekwensinya bisa terpaut sekiitar 300 KHz itu.

Half  Square  Antenna  yang  diambil sebagai  “proyek  percontohan”  di  edisi lalu adalah untuk band 40m yang lebar band-nya cuma 100 KHz itu. Lagi pula, di band ini lebih banyak pe-DX anak negeri yang bekerja dengan mode CW ato berbagai DIgimode di segmen bawah band ini, sehingga kalaupun sekali-sekali mau paké phone, paling jauh frekwensi kerjanya  cuma  terpaut  30-50  KHz  ke atas.  Dengan  demikian,  kalo’  toh  Half  Square-nya dari awal di tune di frekwensi tengah band ini (7.050 MHz),  tidak akan terlalu jadi masalah kalo’ harus hopping from edge-to-edge di band ini.

Karenanya,  orèk-orèkan  kali  ini  lebih ditujukan  bagi   mereka   yang   kepingin ‘nge-jajal Half Square di 80 ato 160m. 

Pertimbangannya adalah dari segi efisien si  yang didapat dan investasi yang harus dikeluarkan,   kalaulah   lahannya   ada, jatoh-nya akan lebih feasible untuk naikin Half Square ketimbang Dipole (yang pada ketinggian instalasi/feedpoint yang  sama akan dilibas abis di urusan take-off angle), ato vertikal (yang biasanya sudah dibonsai abis-abisan sehingga electrically cuma tinggal 1/8λ, belum lagi keribetan ekstra di urusan ‘ngebentang radialnya. (!)

Upaya memperlebar bandwidth

Selama  ini  dikenal  beberapa  kiat  untuk bisa memperlebar bandwidth antena, kata- kanlah yang biasa dilakukan pada sebuah Dipole.

Yang paling sederhana adalah dengan memperbesar diameter kawat yang dipaké ‘ngebahan antena, ato mengganti 2-3 mtr (untuk band 80m) kedua ujung antena dengan pipa aluminium dia.1/2—3/4 inch, ato mengganti kawat yang semula berupa kawat tunggal (single wire) dengan multi-wire    (seperti    pada    folded    dan    3-wire  dipole)

Cara lain yang “lebih cepet kliatan hasil nya” (ditandai dengan nge-tune-nya ‘nggak susah-susah amat) adalah dengan membuat   sebuah   Fan   Dipole   (antena Kumis   Kucing,   lihat   Gambar   1),   yang konduktornya alih-alih dipotong untuk resonan di dua  band (tarohlah di 80 dan 40m), di versi broadband ini salah satu dipole ditala di 3.500—3.520 Mhz, sedang dipole kedua ditala di  3.750-3.800 MHz kedua rentang frekwensi tersebut adalah celah pada DX-windows di 80m).


Rudy   Steverns   N6LF   tertantang   untuk menjajal kiat ini pada Half Square Anten- na, yang dia lakukan dengan mengganti kedua sisi tegak dengan sayap-sayap Fan Dipole seperti yang di Gambar atas

Hal pertama yang dia temukan adalah ada perbedaan signifikan pada cara merentang kedua  konduktornya. Kalo’  pada  Fan  Di- pole jarak antara ke dua ujung luar kon- duktor tidak terlalu kritis, pada Half Square justru jarak pada kedua ujung   ini cukup menentukan  kinerja  antena  hasil  modifikasian ini.

Untuk di 80m, jarak antara L1 dan L2 pada Gambar 2 mesti dibuat sekitar 13 meteran. Trus lagi, akan ada perbedaan karakteristik antara  kalo’  segitiga  semu L1-L2-L3 diglantungin pada bidang yang sama dengan (in  the  same  plane  with) arah  bentangan  flat  top  (lihat  Gambar 2) ....


Keterangan:
L-1 dibuat resonan di 3.500—3.520 MHz
L-2 dibuat resonan di 3.750—3.800 MHz
L-3 = +/- 13 mtr (panjang persisnya di cari waktu proses penalaan)

dengan yang kalo’ ‘ngegantungnya seakan membentuk sudut 900  (perpen- dicular)  dengan bentangan flat  top  se- perti di Gambar 3 di bawah ini


Dengan konfigurasi seperti di Gambar 2 maka akan didapatkan pancaran yang bi- directional (F/B ratio = 0), sedangkan konfigurasi pada Gambar 3 akan menghasilkan arah pancaran yang mendekati uni-directional, dengan F/B ratio 3-4 dB (terutama di frekwensi ren- dahnya), yang berarti ada sedikit penambahan Gain ke jurusan yang dituju.

Namun demikian, walo-pun footprintnya ja-di membesar, kalo’ toh lahan yang ada memungkinkan, banyak pe- DX yang le- bih  memilih  konfigurasi  di  Gambar  2, yang     dengan     arah     pancaran     bi- directional  akan   lebih   memungkinkan dalam menguber stasiun DX yang tidak bisa  didapatkan  dengan  bekerja  short- path  (mengambil jarak  terdekat  antara dua  buah  titik  seperti  yang  bisa  diliat dengan  ato  pada  azimuthal  map  yang dibuat dengan me-ngambil QTH si pe-DX sebagai titik pusat), ato dengan kata lain sinyalnya   harus   berjalan   mengelilingi bulatan  bumi  dengan  mengambil  jarak ato bekerja long path (ada yang ‘ambil gampangnya dengan menafsirkan termi- noloji long path sebagai “sinyalnya lom- pat”; karena kata “long” emang nyrèm- pèt-nyrèmpèt dengan suku kata “lom”). 

BTW, ukuran pasti untuk tiap elemen SA- NGAT tergantung pada kondisi lapangan, ka rena     m enyangk ut     luas     la han (bertambah  panjang  bentangan  flattop berarti  sisi  vertikal  bisa  dibuat  lebih pendek, yang juga berarti ketinggian in- stalasi bisa dibuat lebih rendah), konduk-tifitas tanah di bawah bentangan antena, dan beberapa faktor lain. Karenanya rumus untuk   menghitung   ukuran   1/2λ   Dipole yang L = 143/f sekali lagi hanya sekedar untuk ancer-ancer saja. Dalam memotong kawat harap ditambah barang 0.5 — 1 mtr karena bagaimanapun lebih baik memo- tong  daripada harus  menyambung kawat pada  proses  penalaan  nanti.  Dalam  hal ada kelebihan kawat, seyogyanya selagi masih dalam proses penalaan lipat ato tekuk aja kelebihan itu ke arah yang ber- balikan dengan arah bentangan kawat, kemudian ikat/kencangkan pada kawat itu sendiri dengan menggunakan cable ties.

Proses penalaan
Siapkan kedua sisi vertikal dengan mem- buat sebuah Fan Dipole seperti di Gambar
1, setelah jadi kemudian tune ato tala se- bagus mungkin sehingga didapatkan SWR terrendah (‘ngga’ perlu 1:1) dimasing- masing frekwensi.

Kalo’ sudah ketemu, copotin masing- masing sayap Dipole itu, dan gunakanlah keduanya sebagai sisi vertikal yang di- klèwèrin di masing-masing ujung flattop ato sisi horizontal., dengan memben-tangnya sesuai kondisi lahan atau   konfigurasi macam mana (simetris ato asimetris) yang dikehendaki.

Kèrèk   ato   naikan   atena   keposisinya. Pada   point   ini   anda   akan   bersyukur bahwa penalaan selanjutnya bisa dilaku- kan TANPA naik-turunin antena lagi, pa- ling-paling rasa capèk anda lebih dise- babkan karena mesti mondar-mandir antara ke-empat titik jatuhnya ujung sisi vertikal, dan mungkin juga karena anda harus ’ngejinjit (berjingkat) waktu nge- trim  ke-empat ujung itu (!).

Kalo’ anda beruntung punya ato dapat pinjeman Antenna Analyzer, rasanya proses mondar-mandir sambil ‘narik-ulur ke empat ujung itu akan jauh mengurangi rasa capek anda.

Lakukan penalaan lagi, kali ini tweak it sampai SWR 1:< 1.5 bisa didapatkan. Kemudian? Tergantung time of the day, sepertinya sekarang tinggal tunggu jam- jam yang pas (bukaan propagasi) untuk ngejajal antena  anda.  Sekali lagi  inga’- inga’, Half Square didesain dengan pemikiran untuk  dipaké  DX-ing,  jadi  ja- ngan lantas kelewat kuciwa kalo’ anda selalu dipanggil terakhir kalo’ check-in di net-net lokal macam Riau  morning net, kecuali  kalo’  anda  tinggal  ato  operate dari Merauke sono. 

Bonus edisi ini
Just an afterthought (baru keinget), kiat memperlebar bandwidth di  band 80m dengan membuat Fan Fipole yang dibi- kin resonan di low dan high segments of the  band  ini  kaya’nya  bisa  ditrapkan juga   untuk   memperlebar   bandwidth 80m Dipole biasa (ato pun yang short- ened alias dibonsai).

Alih-alih   membuatnya   d ari   kawat sepanjang 1/2λ seutuhnya (baik secara
fisik maupun elektrikal), ganti kira-kira 6 mtr di masing-masing ujung dengan kabel monster, twin-lead TV, window- type ladder line, open wire ato berjenis kawat  2-ler  (dwi-konduktor) semacam- nya. Setelah dinaikin, tune salah satu konduktor di  sekitar 3.5-3.6  MHz,  ke- mudian tune konduktor lainnya di seki- tar 3.800 MHz.

Seperti yang biasa terjadi pada spasi antar  elemen  yang  nyaris  dèmpèt  ini, pse antisipasi kalo’ terjadi interaksi antara kedua segmen pada waktu tun- ing.

OK, guys— let’s try it, es GL (!)
[73]

Ngobrol Ngalor Ngidul 0612

Ngobrol Ngalor Ngidul 0612

40m Half Square Antenna

kalo’ ada pertanyaan sila kirim lewat JARUM: buletin@orari.net MILIST orari-news@yahoo.groups.com JAPRI: unclebam@gmail.com


Pengantar:
Salah  satu  directive  antenna     yang  cukup populer di kalangan DX-er  berkantong  cekak adalah  Half  Square  Antenna,  yang  sepintas tongkrongan  dan  dimensinya  mirip   dengan sebuah  dipole  biasa  yang  disambungkan  ke sebuah  vertikal  1/4λ  pada   masing-masing ujungnya.
Kedua  buah  vertikal  1/4λ  tersebut  lantas diumpan   bareng-bareng   (phased   fed)   dari ujung atas  salah satu vertikal. Sinyal berjalan lewat segmen atas antena yang berupa  dipole 1/2λ itu menuju ujung atas vertikal satunya, sehingga  kedua  vertikal  tersebut  serempak memancarkan sinyal ke angkasa.
Karena ukurannya,  bagi homebrewers    yang demen ber-low band DX-ing,  kaya’ nya cuma versi  buat  band  40m  aja  yang    bakal  keta- nganan  buat  dikerjain   sendiri,   dari  proses ’ngebahan, merakit sampé naikinnya.

Kenapa Vertikal?
Antena      vertikal cukup populer bagi low- band DX-ers lantaran salah satu karakteristik  antena  ini  adalah  take-off angle-nya yang rendah (sekitar 20').

Untuk mendapatkan sudut pancar segitu sebuah dipole (ato  variant-nya,  termasuk antena Yagi)  mesti dinaikin dengan feed point  pada  posisi  setidaknya  1/2λ  dari permukaan  tanah  —  suatu  yang  agak muskil buat rata-rata amatir anak  negri, yang   paling-paling     mengandalkan    2 batang   pipa    galvanized    ato   lonjoran bambu yang disambung-sambung (!).


Bagi   para DX-er, salah satu sebab kenapa ogah   memaké  antena  vertikal  adalah karena   sifatnya   yang   omni-directional, sehingga tidak bisa menolak QRM   yang ’ngerubutin    dari   segala   penjuru,   yang kadang-kadang     sampe     “mengubur” stasiun   DX       yang    dituju. Belum           lagi kecenderungannya   untuk  noisy  (brisik) dan  tuntutannya akan sistim radial yang cukup    ekstensip, yang    bagi    banyak rekans dianggap cukup ngrepotin.

Sebelum pecah   PD-II, Woody Smith W6BCX banyak  bereksperimen dengan Inverted Groundplane (antena  vertikal yang diumpan dari atas).

Diem-diem (karena kegiatan amatir radio dilarang  pada  masa perang) Woody memendam  keinginan  untuk mengembangkan    eksperimennya lebih lanjut dengan   ‘ngejajal   2 ato   lebih   elemen vertikal.
Baru  segera sesudah PD-II usai, keinginan ini jadi kenyataan, dan lewat serangkaian ujicoba  lahirlah  versi  2   elemen,   yang kemudian  dikenal  sebagai  Half  Square Antenna (untuk  selanjutnya di tulisan ini disingkat HSq) .

Versi asli HSq dibikin dari seutas kawat sepanjang  1λ (full   wave  lenght),   yang masing-masing ujungnya    ditekuk   90' sepanjang 1/4λ, dan dibentang memben- tuk huruf U yang  terbalik  (Inverted  U) — sehingga   tongkrongannya  mirip  dengan sebuah   dipole  1/2λ yang  diberi  kuncir 1/4λ di  kedua  ujungnya.  Inverted  U  ini lantas diumpan dari salah satu pojok flat top-nya.


Belum    sempat ‘ngejajal naikin sendiri rancangannya,  Woody  harus pindah QTH ke lain negara bagian. Sebelum pergi, dia tinggalkan  pesan  buat   rekan—rekannya untuk mencoba  naikin, ato melanjutkan bereksperimen dengan rancangannya tersebut.

Sayang, idee ini kurang mendapat response,   karena   kebanyakan  mereka belum bisa diyakinkan bahwa kiat sesederhana itu (cuma dengan     penam- bahan     kuncir)     akan     memberikan peningkatan   yang    signifikan   terhadap kinerja sebuah dipole 1/2λ.

Di kediaman barunya Woody berfikir, mungkin  disain  yang  lebih  complicated akan lebih bisa menarik perhatian. Maka di majalah CQ  edisi Maret  1948 Woody melansir rancangan Bobtail Curtain, yang berupa bentangan flat top sepanjang  1λ penuh yang diberi kuncir 1/4λ di tiga titik: di tengah dan pada kedua ujung.

Disain baru   ini   mendapat   tanggapan positip banyak yang melaporkan bahwa tirai  Bobtail ini bener-bener bisa diandalkan untuk nge-DX  (it  was a great DX performer), terutama untuk jangkauan > 2.500 mil (!!!).

Walaupun ada   juga yang   karena keterbatasan lahan — melaporkan keberhasilan versi dengan hanya 2 buah kuncir vertikal, betapapun ingatan bahwa pada  dasarnya  antena  ini  adalah  hasil othak-athikan  sebuah  bentangan  kawat 1λ (tanpa   memperhatikan   footprint-nya lagi) membuat   orang jeri untuk  ngejajal Bobtail     curtain di low-band  HF,  sehingga pelan-pelan    disain   ini    meredup   dari perhatian para lo-band DX-ers.


Justru   HSq  - sesudah lewat hampir 30 tahun sejak diuthak-athik W6BCX - kemudian   jadi   naik    daun, gara-gara artikel  Ben  Vester K3BC   di  edisi  Maret 1974 majalah QST.

Ben cukup lama memakai Bobtail curtain untuk mojok di 80m DX-window, sampai suatu hari badai merontokkan salah satu sayap  1/2λ-nya. Anehnya,  di dalam ham shack-nya Ben ngga’ ‘ngrasain perbedaan apapun, baik  saat  memancar maupun menerima. Sesudah  melakukan  serang- kaian  test,  dia  tuliskan  hasilnya  dalam artikel di  QST  tersebut di  atas, dengan judul  yang  merujuk  balik  ke  nama  asli yang dilansir Woody 30 tahun yll.:  “The HALF SQUARE Antenna”.


Lewat 20  tahun kemudian, sesudah melakukan sendiri berjenis ujicoba di hi- band, Paul  Carr,  N4PC  (redaktur  teknik majalah CQ)  melansir  versi 40m  HSq  di CQ edisi September 1994, yang — karena merupakan  hasil eksperimen paling mutakhir  yang bisa  ditemui  -  penulis coba wedar di edisi ini.

Merakit HSq antenna
Dengan    merujuk kepada gambar berikut, ikuti petunjuk perakitan sbb.:

Bahan
1. 40  mtr  kawat  tembaga,  1.6—2  mm, bersalut   PVC/nylon, jenis stranded/ serabut.
2. 2 bh isolator (bikin aja dari  potongan pipa PVC ato acrylic sheet 5 mm)
3. coax  RG-58  (feeder line)  secukupnya (dari feedpoint ke  TX,  pertimbangkan panjang keseluruhan dengan memper- hatikan  cara   penyambungan  feeder- line pada baris-baris berikut)

Proses perakitan:
1. Seperti terlihat pada gambar, HSq  ter- diri dari 2 segmen:  1  segmen vertikal 1/4λ  dan  1   segmen  3/4λ  (flat   top 1/2λ yang di titik A      tersambung lang- sung dengan 1/4λ vertikal di sisi lain).
2. Sesuai  butir 1  di atas, potong  kawat untuk kedua segmen dengan  panjang masing-masing 10 dan 30 mtr.
3. Perhatikan gambar, pada titik A sisi flat top   yang   20  mtr   LANGSUNG   TER- SAMBUNG dengan sisi vertikal yang 10 mtr (jangan sampé ada sambungan di titik A, karena di situ  ada  pertemuan dua gaya tarik: ke samping (horizontal) dan ke bawah. Kiat  yang dipaké  N4PC ialah dengan menekuk/melipat bagian yang   10    mtr    tersebut, kemudian tekukan/lipatan tersebut  dimasukkan ke  salah  satu  lubang pada  isolator. Buat     loop kecil pada  ujung tekukan, masukkan  isolator  ke  loop  tersebut kemudian  tarik (ke arah ke dua sisi, horizontal dan  vertikal),  sampé  loop mengecil dan akhirnya ter”kunci” mati (bagusnya, kiat ini  meng-  tidak usah- kan  urusan  solder   menyolder  yang rawan putus itu !)
4. Lakukan  cara pengikatan (ke isolator) yang sama pada ujung lain dari flat top, tapi inget di ujung ini tidak  ada “kuncir” sepuluh meter yang harus di- klewerkan     ke     bawah.     Alih-alih tersambung  ke   kuncir, pada titik ini sambungkan  flat  top  dengan  inner conductor dari coax/feederline.
5. Ikatkan  kuncir  vertikal    pada  lubang lain dari isolator , kemudian sambung- kan outer  braid/serabut  dari coax ke kuncir tersebut.
6. Yang  kudu diperhatikan adalah dalam menarik  coax  (ke arah  TX)   JANGAN menggantungkan coax sejajar  dengan kuncir, karena  kemungkinan akan ada interaksi antara  keduanya (yang bisa mengacaukan penunjukan SWR!). Sesudah langkah 6  ini dilakukan, HSq sudah  siap   untuk  dikèrèk  naik   ke kedua   tiang   yang   tentunya   sudah disiapkan sakbelonnya.

Penalaan:
Naikkan HSq dengan mengusahakan jarak  +/- 2 mtr dari ujung bawah kedua sisi vertikal dengan permukaan tanah. Di samping mencegah biar nggak ‘nyampluk kepala  orang  yang  lewatdi  bawahnya, juga ketinggian segitu   masih   cukup mudah terjangkau di saat harus melakukan trimming & pruning  (memotong ‘dikit-demi-’dikit)   ujung-ujung sisi vertikal ini pada proses penalaan, sampé didapat  penunjukan SWR terrendah (paling nggak di bawah 1:1.4). 

Pemotongan mesti dilakukan SAMA pada kedua  sisi, dan pemotongan pada sisi yang  langsung  tersambung  ke  serabut coax akan lebih kliatan efeknya (pada penunjukan  SWR) ketimbang  sisi  yang lain.

Kinerja yang diharapkan:
1. Walopun     dari   jauh   tongkrongannya seperti dipole  1/2λ biasa, HSq  polari-sasinya vertikal.
2. Take  off  angle  +/- 200,  yang  cukup “menjanjikan” untuk nge-DX.
3. Arah pancaran bi-directional dengan pola radiasi angka 8 yang nyaris sempurna (tegak lurus terhadap  arah bentangan antena) — ato yang dikenal juga dengan istilah “bow-tie” pattern.
4. Gain sekitar 3.75 dBi

Dari keempat parameter di atas, sebenarnya bukan perolehan Gain yang pas-pasan itu benar yang  merupakan  daya tarik   rancangan ini, melainkan   pada directivity (pengarahan) dan take-off anglenya HSq juga meniadakan salah satu ke-ogah- an  banyak  rekans  akan  antena  vertikal,  yaitu tuntutan akan adanya sistim ground- ing   yang   cukup   ekstensip   untuk   mau bekerja sempurna.

Desain      ini juga tidak terlalu rewel terha- dap urusan ketinggian instalasi. 

Kalo’ misalnya ketinggian mast/tiang yang ada  cuma 9 mtr, tekuk aja 3 mtr  bagian bawah  sisi  vertikal ke  arah  dalam  (lihat gambar di bawah), sehingga jarak minimal dari  ujung  bawah  kuncir  ke  permukaan tanah yang 2 mtr itu   tetap dapat diperta- hankan.

Bagi    rekans yang memang demen uthak- athik, mungkin bisa dicoba  memperpen- dek  panjang fisik kuncir yang seharusnya +/-  10   mtr  itu  dengan  menggunakan linear loading, sehingga bisa  didapatkan ukuran baru (sekitar 7 mtr) yang mungkin akan   lebih   mudah   untuk   di”tangan”i, apalagi bagi mereka yang ‘ngerjain sendi- ri dari urusan ‘ngebahan  (proses  potong memotong kawat) sampé naikinnya.

BTW, walopun teoritis perolehan Gain-nya cuma  segitu, di  berbagai  milist  banyak yang  melaporkan  bahwa  HSq  ini  tidak malu-maluin  kalo’     diajak    trèk-trèkan dengan 2-elemen Yagi yang diinstall pada ketinggian feedpoint yang nyaris sama.

Kalo’   mau —  ukuran-ukuran  tersebut di atas  bisa  aja  di  scale  up/down  untuk cakupan   di    band-band lain, dengan mempertahankan  2 mtr  sebagai  jarak minimal dari ujung bawah kedua kuncir ke permukaan tanah.

Selamat mencoba, ES HPI DX-ing (!)  [73]