Masih Ingat Kan ‘Ya? 0112
Sekadar mengingatkan kembali, di 2 edisi yang lalu, penulis cerita tentang Z-matcher dan proses perakitannya. Assum- ing rekan-rekan sudah ada yang mulai bikin (atau terniatkan untuk bikin) Z-matcher ini, tentu ada yang ‘mikir buat apa susah-susah bikin kalo’ nggak ketahuan buat apa nantinya kalo’ sudah jadi (lha ya biar nggak jadi mubazir azzza,‘kan?)…
Sekadar mengingatkan kembali, di 2 edisi yang lalu, penulis cerita tentang Z-matcher dan proses perakitannya. Assum- ing rekan-rekan sudah ada yang mulai bikin (atau terniatkan untuk bikin) Z-matcher ini, tentu ada yang ‘mikir buat apa susah-susah bikin kalo’ nggak ketahuan buat apa nantinya kalo’ sudah jadi (lha ya biar nggak jadi mubazir azzza,‘kan?)…
Di edisi kemarin sudah disinggung bahwa kebutuhan untuk punya Multiband antenna lah yang jadi salah satu sebab pendorong orang mengembangkan berbagai jenis Antenna Tuner, lantaran tidak semua amatir cukup punya nyali dan doku untuk buat dan naikin antena Monoband buat masing- masing band. Nah, kalo’ demikian adanya, rasanya pas kalo’ ini kali kita ‘ngobrol tentang MULTIBAND ANTENNA.
Cakupan (coverage) MULTI-band Antenna
Buat rata-rata amatir radio negeri ini, antena HF pertama yang kebayang mau dinaikin tentunya yang bisa dipaké untuk main di 80 M, baru kepikir band lain, misalnya 40 (dan 15 M) buat mereka yang sudah tingkat Penggalang. Untuk segment hi-band (20, 17, 12 dan 10 M) biasanya bisa lah diakali antena monoband di situ, karena dimensinya yang ‘nggak terlalu gede (dan kalo’ mau paké kawat atau kabel aja dokunya juga ‘nggak perlu kelewat tebel). Jadi, yang diwedar kali ini adalah Multiband Antenna yang mencakup (terutama) 80 dan 40 M, walaupun kalo’ ‘nggak disebut secara khusus, hampir semua antena yang disebut Multiband memang bisa dipakai dari 80 s/d 10 M.
The Classic Design
The Classic Design
Di semua literatur tentang antena buat amatir, yang pertama disebut-sebut sebagai Multiband Antenna adalah yang disebut dengan 135’ Doublet. Karena rancangan antena ini kurang lebih sama umurnya dengan hobby radio amatir itu sendiri, sepertinya sudah ‘nggak pernah keinget dan disebut- sebut lagi siapa penemunya.
Bentuknya adalah sebuah doublet biasa (bentangan kawat dengan feed point di tengah-tengah, yang sejak awal TIDAK direncanakan untuk resonan di frekuensi tertentu), dengan bentangan horizontal (flat top) sepanjang 135 feet (41,15 meter), yang di-feed dengan open-wire line (antena ini kan ditemukan di jaman pre-coax doeloe).
Melihat ukurannya, tentunya sudah dapat diramalkan cara kerja antena ini. Di 80 M dia akan bekerja seperti 1/2 wl (wavelength = lambda) dipole biasa, di 40 M sebagai antena1 wl, di 20 M sebagai antena 2 wl dan seterusnya. Trus, apa plus-minus dari kepanjangan elemen yang merupakan 135 'open wire, panjang sebarang, ke ATU kelipatan n x 1/2 wl tersebut terhadap kinerja antena?
Melihat ukurannya, tentunya sudah dapat diramalkan cara kerja antena ini. Di 80 M dia akan bekerja seperti 1/2 wl (wavelength = lambda) dipole biasa, di 40 M sebagai antena1 wl, di 20 M sebagai antena 2 wl dan seterusnya. Trus, apa plus-minus dari kepanjangan elemen yang merupakan 135 'open wire, panjang sebarang, ke ATU kelipatan n x 1/2 wl tersebut terhadap kinerja antena?
Segi plus yang gampang ketahuan adalah di band atas (40 M, 20 M dst) ada peningkatan gain (dibanding kalo’ misalnya paké dipole 1/2 wl biasa untuk masing-masing band). Tambah tinggi frekuensinya, tambah tinggi pula kenaikan gain-nya. Karena di edisi ini kita baru mulai ngebahas tentang berbagai macam Multiband antenna, pembahasan segi minusnya mungkin kita tunda ke edisi depan saja, biar ‘nggak bikin surut semangat rekan-rekan yang mau ‘nyoba.
Namanya juga compromising antena, hasilnya ya serba kompromistis, jadi terpulang kepada niat awal waktu mau bikin antena… Kelebihan apa yang mau dioptimalkan dan apa yang mau dikorbankan.
Trus, seberapa pantesnya kita naikin antena yang bentangannya setara dengan deretan 4 kapling BTN di perkotaan ini? Salah satu aksioma perantenaan HF adalah: …the higher is the better… makin tinggi kian bagus juga hasilnya. Tapi lantas ada embel-embelnya: unless Anda bisa ‘naruh feed point di sekitar ketinggian free space, JANGAN HARAP Anda bisa mendapatkan directivity… tambah rendah posisi feed point (terhadap free space) tambah cenderung omni directional pula arah pancarannya.
Jadi, untuk 80M di mana buat rata-rata amatir radio sulit untuk mendapatkan ketinggian free space yang sekitar 40 meteran (taruhlah paling pol sekitar 10-12 meter) ya ‘nggak usah terlalu concern dengan arah bentangan antena, karena kalo’ untuk coverage dari NAD (Nangroe Aceh Darussalaam) sampai ke Papua sono dari titik mana pun di negeri ini rasanya dengan average power sekitar 100 watt-an toh bakal nyampé juga (tentunya dengan mempertimbangkan band condition, propagasi, time of the day dsb).
Bagaimana dengan di band atas? Untuk sementara ini mending kita manfaatkan dulu perolehan gain yang kita dapat dari factor kelipatan n x 1/2 wl tadi, sedang tinjauan teknis tentang pengaruh ketinggian terhadap take off angle, directivity dll. kita bawa ke edisi depan seperti penulis janjikan di atas…
Antenna Kumis Kucing
Kalo’ Multiband antenna yang pertama disebutkan tadi mesti paké open wire sebagai feederline, maka yang berikut ini justru feeder linenya paké coax biasa. Fungsi utama dipakainya ATU adalah untuk ‘nguber bandwidth di band-band tertentu yang memang lebar bandwidthnya, seperti di 80, 20,
15 dan (apalagi) 10 M. Ini terutama buat mereka yang senang bekerja multimode: CW dan digital di segment bawah, phone di segment atas.
Ide dasarnya sih sederhana saja: buat beberapa buah dipole (1 band 1 dipole) dan lantas di feed jadi satu paké coax. Dari segi konstruksi, tentunya antena yang paling panjang (frekuensi paling rendah) dibentang paling atas, terus elemen lain (yang lebih pendek) dibentang di bawahnya. Karena titik umpan (feedpoint)-nya jadi satu dan masing-masing ujung elemen yang lebih pendek berurutan ‘nglèwèr yang satu di bawah yang lain, maka jadilah tongkrongannya seperti kumis kucing raksasa.
Panjang masing-masing elemen dihitung paké rumus ‘motong dipole biasa (lihat BeON edisi Desember 2001). Jangan kaget kalo’ waktu dipaké nanti akan ada interaksi antarband, artinya walau pun di 80 M desain frekuensinya sudah dapat SWR 1:1, begitu naik ke 40 M (yang sebelumnya –waktu ditala sendiri– juga sudah ketemu SWR 1:1) tahu-tahu SWR ‘ngejeplak jadi 2:1. Nah, di sinilah ATU bisa dimanfaatkan,karena ditala bagaimana pun interaksi antarband pasti terjadi.Konstruksi lebih sederhana bisa didapatkan kalo’ yang diinginkan antena untuk dua band saja, misalnya untuk 80 dan 40 M.
Sediakan feederline TV (Twinlead atau ribbon line) yang barangkali masih bisa dicari di toko elektronik lama (= sudah ada sejak zaman Abah atau Aki suka belanja barang elektronik doeloe). Bikin dipole 80 M dari bahan ini (potong sekitar 38 meteran, terus potong lagi jadi 2 @ 19 meter). Tandai salah satu konduktor yang nantinya difungsikan sebagai elemen antena 80 M. Anggap saja konduktor yang ditandai tadi sebagai konduktor (bagian) atas. Langkah berikut adalah memotong konduktor bagian bawah pada titik sekitar
10,25 meter (ukuran persisnya ya hitung aja paké rumus seperti di atas) dari feedpoint, kemudian buang kira-kira 1-2 cm dari titik potong tersebut. Nah, jadilah sudah dual-band antenna Anda, yang tongkrongannya kira-kira seperti yang penulis coba gambarkan berikut ini (bahasa sononya: drawing is NOT made to scale). Jadi ya serba kira-kira aja dah, sekadar bisa memberi gambaran di titik mana cowakan atau pemotongan mesti dibuat, bagaimana nyambung ke feeder line dsb).
Kalo’ antena diumpan dengan sinyal 80 M, maka sinyal akan ‘nyari konduktor sebelah atas (yang utuh tanpa potongan) yang merupakan radiator (media untuk radiate something) untuk 80 M, lha kalo’ yang mau lewat sinyal 40 M tanpa di- switch macem pun dia bakal milih konduktor bagian bawah yang merupakan radiator (=elemen antena) untuk 40 M.
Trus ada BONUSnya lagi… antena ini bisa kerja juga di 15M, yang merupakan harmonik ke-3 (triple harmonic) dari band 40 M (misalnya antena ditala di 7,050 MHz, triple harmonicnya jatuh di 21,150 MHz). Cuma ya itu tadi, bagaimana pun rapinya kita menala di masing-masing band, begitu dikerek ke atas dan diempani sinyal interaksi antarband so pasti bakal ada (makanya, seyogyanya Z-matcher selalu di-standby- kan. Supaya ‘nggak cepet putus dan distribusi arus bisa merata sepanjang elemen, waktu naikin seyogyanya Twinlead TV- nya diplintir jarang-jarang, kurang lebih 25 - 30 cm sekali plintir.
Nah, obrolan di edisi ini penulis cukupkan sekian aja dulu. Maaf, berani tarohan mesti bakal ada yang protes: dua antena yang diwedar di atas ukurannya kok belon apa-apa sudah bikin ‘ngepèr mereka yang tinggalnya di kapling BTN!
Well, mau yang agak kecilan? Ya sabar dulu deh, CUAGN next month!
No comments:
Post a Comment