Saturday, 3 December 2011

Masih Ingat Kan ‘Ya? 0108

Masih Ingat Kan ‘Ya? 0108

Sekadar mengingatkan kembali, di edisi lalu kita ketemu angka 150 dalam rumus menghitung panjang antena ½ lambda yang mungkret (menyusut) jadi 143 karena pengaruh K factor, yang merujuk kepada ratio atau perbandingan antara ketebalan konduktor (bahan antena) dengan panjang gelombangnya, atau dalam kehidupan sehari-hari merujuk kepada ratio antara diameter dan panjang dari kawat atau tubing (pipa) yang dipakai sebagai elemen antena.

Pada sebuah wire antenna (antena yang dibuat dari kawat) yang memakai isolator pada kedua ujung (dan di tengah)-nya, ada hal lain yang memperpendek panjang fisik (ketimbang panjang elektris) antena, yaitu tambahan capacitance karena adanya isolator tersebut. Besar kecilnya kapasitansi tergantung dari bahan apa isolator dibuat, dari yang paling mahal yang berbahan gelas pyrex, terus ada yang dari keramik, berjenis plastik macam phenolic, plexiglass, acrylic, sampai potongan pipa paralon (PVC). Karena isolator biasanya ada di masing-masing ujung (end), maka capacitance effect disebut juga sebagai end effect.

Untuk gampangnya, gabungan faktor K dan end effect tersebut dibulatkan jadi 0.95, sehingga lahirlah angka pembilang baru dalam rumus yang (300 : 2) x 0.95 = 142.5 atau  dibulatkan jadi 143 tadi. Nah, apakah rumus L = 143/f tadi merupakan HARGA MATI buat memotong kawat atau kabel waktu meracik antena dipole anda? Kalau ya, terus ‘gimana ceritanya kok ada yang jadi uring-uringan karena begitu antena yang sudah dipotong “pas” sesuai rumus tadi dikerek ke posisinya, begitu diumpan sinyal kok SWR jadi ‘ngejeplak ke angka merah?

Lha ya sabar dulu ‘lah, dalam proses pengerekan antena ‘kan mesti ada proses penalaan atau tuning dulu. Rumus tadi bolehlah dianggap sekadar sebagai ancar-ancar atau patokan awal dalam memotong kawat atau kabel, karena rumus tadi hanya akan cocok untuk bikin Dipole antena pada KONDISI IDEAL saja.

Kembali ke edisi pertama, kecepatan rambat cahaya yang sekitar 300.000.000 (= 3 x 108) meter per detik tersebut adalah dalam KONDISI IDEAL juga, yaitu dalam ruang hampa atau vacuum. Dalam kehidupan nyata, kondisi ideal macam begini ‘kan cuma bisa dijumpai misalnya di laboratorium fisika dan sebangsanya. Nah, salah satu kondisi ideal diurusan per-antena-an adalah ketinggian feed point (titik umpan) yang harus ada pada ketinggian free space (= udara BEBAS, sehingga hampir benar-benar terbebas dari pengaruh konduktivitas tanah yang ada di bawahnya), yang diperhitungkan ada pada ketinggian sekitar 1/2 wl juga.

Kebayang ‘nggak, untuk antena dipole band 80 M, ketinggian feed point idealnya harus berada pada ketinggian 40 meteran dari tanah! Melenceng dari ini akan mempengaruhi feed point impedance dari antena!

Ini baru urusan yang berkaitan dengan ketinggian feed point, belum lagi yang ‘nyangkut dari bahan apa antena dibuat. Kondisi idealnya sih kawatnya yang gress baru beli, masih mulus tanpa bercak oksidasi atau karat, bahan boleh tembaga, boleh stainless steel, boleh tembaga campur nickeline, boleh aluminium (yang dipakai PLN sebagai penyambung dari tiang ke rumah), boleh solid (kawat tunggal) atau stranded (anyaman atau serabut), boleh juga pakai kabel (kawat bersalut, biasanya dilapis sejenis plastik atau vynil, sehingga disebut vynil insulated wire) dan sebagainya. Tapi berapa persen dari homebrewer antena yang sanggup ‘ngemodali bahan-bahan ideal macam gitu? Kebanyakan ‘kan sekadar memanfaatkan saja (istilah kerennya mendaur-ulang) bekas kawat dinamo, bekas antena yang lama, sisa kabel aki, potongan kabel telpon (di beberapa daerah konon masih ada yang pakai tembaga solid 1-1,2 mm).

Ini dia: bercak karat, bekas polusi atau oksidasi, bekas-bekas solderan atau lapisan enamel yang terkelupas pada kawat dynamo, jenis plastik sebagai pelapis/penyalut kawat, belum lagi bekas air (bisa hujan, embun, kondensasi) yang meresap masuk antara kawat dan penyalutnya… semua ini sedikit banyak akan mengubah capacitance effect dan resistansi kawat antena tersebut yang akan membuat reso- nant frequency-nya lari dari frekwensi yang dikehendaki.

Ditambah dengan mismatch (ketidaklarasan) feed point impedance dengan impedansi dari transmission line dan output dari perangkat (yang biasanya 50 ohm unbal- ance) yang dipakai, lengkaplah sudah unsur-unsur yang jadi biang kerok kondisi SWR ‘ngejeplak tadi, dan bersiap-siaplah untuk kecewa dan jadi uring-uringan!

Bagaimana meng-antisipasi dan mengurangi kekecewaan dengan antena pertama para homebrewer ini? (lah ya biar nggak malah jadi kapok, gitu…) Kita jumpa lagi di edisi depan…

No comments:

Post a Comment