Monday, 5 December 2011

Ngobrol Ngalor Ngidul 0412

Ngobrol Ngalor Ngidul 0412  

End Fed Antenna  

kalo’ ada pertanyaan silah kirim via orari-news@yahoogoups.com, atau langsung ke
unclebam@indosat.net.id

Buat para HF-mania, begitu IAR keluar dan call sign sudah “turun”, biasanya yang  kepikir duluan adalah untuk bagaimana bisa langsung naikin antenna di band 80M.

Bagi mereka yang “ada modal”, tentunya sebuah center-fed Dipole yang di feed paké  kabel coax adalah merupakan pilihan pertama, tapi buat yang serba cekak (cekak di lahan, cekak di kantong) Dipole sederhana macam itupun barangkali masih merupakan sesuatu yang “out of question” alias mesti disisihkan dari pikiran (dan khayalan).

Buat kelompok yang disebut belakangan, barangkali yang lantas teringat adalah dialog yang pernah didengar — apa di frekwensi, atau pas ada acara eyeball antar rekan —, yang ‘nyebut-‘nyebut tentang antenna kawat jemuran, yang dalam sejarah per-radio amatir-an anak negri memang sering disebut sebagai antenna pertama yang terbayang buat dibentang oleh mereka yang “serba cekak” tadi ….

Kalo’ dikaji baik-baik, segala jenis kawat dengan bermacam ukuran panjang dan diameter  memang BISA dibentang untuk dijadiin antenna, tentunya dengan mempertimbangkan (dan bersedia menanggung akibatnya) kelebihan dan kekurangan dari masing-masing jenis.

Di literatur eks luar pager sering ditemui cerita tentang rekan amatir yang berbangga  bisa DX-ing dengan antenna yang dibikin dari serendeng jepitan kertas (paper clips), serendeng pèr yang dicopot dari rongsokan spring-bed, serendeng bekas kaleng soft drink atau beer yang disolder sambung menyambung, atau dengan antenna yang memang bener-bener dibikin dari kawat jemuran (clothes line). Cuma jangan dibayangin kawat jemurannya rekan-rekan di Amrik sono sama “plek” dengan kawat jemuran sini, yang biasanya dibeli kiloan dari toko mate- rial bangunan yang ‘ngejualnya dalam bentuk gulungan berdiameter sehasta @ 1 kiloan itu. Setau penulis (yang kadang-kadang suka sok-tau, héhéhé) clothes line ex Amrik biasanya berdiameter seukuran batang korek api, dibikin dari kawat anyaman (stranded wire) alus dari bahan nirkarat (tapi bukan stainless steel), jadi tidak dikhawatirkan bakal menodai baju seragam yang putih-putih dengan karat-nya seperti yang suka terjadi dimusim hujan dengan kawat jemuran eks toko material tadi …..

Random length vs Long wire Antenna
‘Nggak usah se-ekstrim seperti pada contoh di atas, bahasan kali ini kita awali aja dengan sepotong (atau sak ler) kawat tembaga berdiameter sekitar 1.2 – 2mm. Sebagai pertimbangan untuk memilih diameter kawat amati dulu lingkungan sekitar, apakah suka dipaké anak tetangga buat adu layang-layang ‘nggak? Kalo’ ya, ambil kawat yang diameternya gedéan


Bahannya sendiri terserah sak-dapetnya, boleh kawat tembaga telanjang atau kawat BC/ bare copper wire yang dulu dipaké sebagai penyalur line telpon dari tiang-ke-tiang (sekarang yang diameternya gedéan dipaké sebagai kabel grounding pada instalasi listrik dirumah-rumah), atau kawat tembaga bersalut email (opa-opa doeloe menyebutnya sebagai email draad, atau yang sekarang lebih populer dengan sebutan kawat dinamo), atau bisa juga kawat tembaga bersalut vynil misalnya kawat NYAF, kabel aki, kabel speaker dsb. Kalo’ tidak terpaksa banget hindari memakai kawat jemuran eks toko mate- rial tadi, yang beginian sebenarnya kurang bagus untuk ‘ngebahan antenna karena terlalu lemas dan gampang molor (sehingga jadi sagging atau ‘ngegelendong yang bikin titik resonannya bergeser), konduktifitasnya rendah, resistansinya tinggi dan gampang karatan.

Untuk panjangnya bisa dikira-kira saja, potong secara acak antara 17 - 26 meteran  (lebih panjang lebih baik, tapi jangan lebih dari 35 meteran), yang diasumsikan bisa “mendekati” ukuran panjang 1/4 dan 1/2λdi band 80 dan 40M.

Karena dipotong secara acak (random) begitu, di terminoloji per-antenna-an antenna  macam begini lantas disebut sebagai RANDOM LENGTH antenna alias antenna dengan panjang acak.

Dengan ukuran yang relatip memang panjang (long), apalagi kalo’ dibandingin sama  jepitan kertas atau per spring bed tadi, banyak yang salah kaprah menyebut antenna kawat acak ini sebagai LONG WIRE Antenna, yang sebenarnya merupakan sebutan yang diberikan kepada an- tenna yang panjang fisiknya merupakan perkalian (ganjil maupun genap) dari ukuran panjang 1λ, seperti pada antenna Vee, Rhombic dan Bever- age Antennas, yang di lingkungan amatir jarang dipakai untuk di low-band HF karena ukurannya yang ‘ngabisin lahan tersebut. Kalaupun ada, pal- ing-paling yang dipaké adalah Beverage antenna yang memang terkenal sebagai receiving antenna bagi para DX-ers yang ber-low-band DXing di 160 dan 80M. Salah satu pengguna Beverage Antenna di Jakarta adalah OM Jo, YBØLOW, yang memang penggemar berat ‘nge-DX di 160M.

Pada instalasinya, karena keterbatasan lahan dan dana (untuk beli kabel coax) RANDOM WIRE antenna ini biasanya diumpan pada salah satu ujungnya (karenanya lantas disebut sebagai END FED antenna, seperti yang jadi judul bahasan edisi ini) atau tepatnya pada sisi pangkal atau ujung yang di bawah yang dekat TX. Dalam praktek sering dijumpai rekan amatir yang merentangnya langsung dari hamsack (ruang operate) ke titik setinggi mungkin di luar sana.


Kalo’ bentangannya ‘nggak panjang-panjang amat, tarohlah dari jendela hamshack  langsung ke kèrèkan (burung) perkutut di kebon belakang, maka tongkrongan macam ini banyak yang menyebutnya sebagai sloping wire antenna, alias antenna kawat yang dibentang doyong atau mir- ing. Yang cukup panjang, sehingga perlu dibentang diantara 2 tiang, lantas dikenal dengan sebutan INVERTED- L antenna (biarpun mirip, pse jangan di-keliru-kan dengan L-antenna — tanpa kata Inverted —, yang pernah di wedar di BEON

Kalau panjang antenna acak ini sekitar 20 meteran (yang dekat dengan kepanjangan 1/4λ  pada band 80M) dan dinaikin dengan grounding system (sistim pertanahan) yang baik, maka an- tenna ini ya lantas bekerja seperti antenna 1/4λ biasa, dan karenanya bisa saja disebut sebagai 80M end-fed MARCONI antenna, atau antenna Marconi yang diumpan dari pangkalnya. Barangkali masih ada yang ingat, kinerja antenna Marconi macam ini bisa ditingkatkan kalo’ instalasinya dibikin OFF-GROUND (tidak terlalu dekat sama tanah) dan radial-nya dibuat floating (mengambang) juga beberapa cm DI ATAS tanah ( = tidak ditanam).

Di 40M panjang kawat tersebut jadi mendekati ukuran 1/2λ, maka antenna akan bekerja sebagai 40M end-fed half-wave Dipole atau 40M end-fed-HERTZ, yang seperti umumnya antenna jenis 1/2λ akan bisa bekerja dengan baik tanpa menuntut grounding system yang macem- macem.

Pada awal kebangkitan amatir radio di bumi anak negri di era 60-70an, end-fed antenna  macam ini biasanya diumpan langsung dari out- put TX all “tabung” yang kebanyakan memakai rangkaian Pi-section pada rangkaian final-nya, yang terkenal gedé toleransinya terhadap nilai impedansi di pangkal antenna tersebut.

Sejak 15-20 tahunan terakhir, di mana hampir semua rig atau transceiver dibuat dengan output 50 ohm - unbalance (karena diniatkan untuk dihubungkan ke antenna dengan kabel coax) maka untuk bisa bekerja dengan baik di pangkal antenna Random Wire tersebut perlu dipasangkan sebuah MATCHING UNIT (rangkaian penyelaras) sederhana berupa rangkaian LC yang diparalel (pada end fed Marconi, dengan low im- pedance), atau diserie (untuk end-fed Hertz dengan impedansi tinggi di pangkal atau feed pointnya), untuk menjodohkan (atau menyelaraskan)-nya dengan output rig yang 50 ohm unbalanced tersebut.


Pada rangkaian-rangkaian di atas umumnya dipakai Varco atau variable capacitor dengan  nilai +/- 150 pf sebagai komponen C, sedangkan L1 dibuat dengan 30 lilitan kawat dinamo 1.6 - 2 mm (AWG # 14 – 12) pada koker dari pipa PVC dia. 2” (5 cm), atau syukur-syukur kalo’ ada diantara para homebrewers yang bisa ‘ndapetin roller inductor yang tinggal diputar-puter itu, karena dengan L1 yang home brew ‘gitu memang dibutuhkan ke-tlatèn-an ekstra untuk mencari titik tapping yang tepat, apalagi kalo’ mau di tap di beberapa titik untuk mencari titik matched di berbagai band.

BTW, kalo’ memang diniatkan untuk bisa dipaké bekerja Multiband, ya mesti diakali  supaya komponen-komponen Matching unit tersebut (terutama Varco-nya) bisa diswitch atau di jumper sesuai keperluan, mau di serie atau di paralel. Sekedar memudahkan pengerjaan, seyogyanya Varco–nya dibikin floating (‘ngambang) terhadap Ground, artinya disamping shaft atau as-nya yang mesti di-isolir terhadap kenop (yang nantinya bakal kepegang tangan operator), stator-nya pun ‘nggak boleh sampai ‘nempel atau bersinggungan dengan chassis, dan stator tersebut nantinya di- jumper ke chassis cuma di saat diperlukan sambungan parallel saja.


Untuk menentukan keluaran mana (low atau high impedance) yang pas dengan impedansi di feed point maka perlu diamati distribusi arus dan tegangan (current and voltage distribution) sepanjang element antenna tersebut:  kalo’ pangkal antenna jatuh di titik dengan voltage maxima berarti impedansi-nya tinggi, sebaliknya kalo’ jatuh di titik dengan current maxima impedansinya akan rendah. Yang perlu diperhatikan pada waktu instalasi adalah titik dengan current maxima (dari mana sinyal RF di”lempar” ke angkasa) harus diusahakan untuk bisa berada di ujung atas, dan seyogyanya bisa diposisikan setinggi mungkin dari permukaan tanah.

End fed Marconi atau Hertz ini bisa dipakai sebagai antenna yang efektip dalam  situasi darurat, Field day dsb., apalagi kalo’ dari awal disiapkan untuk bisa bekerja multiband seperti disebutkan di atas, misalnya dengan bergantian antara 40M untuk siang dan 80M untuk di malam hari); walaupun tidak ada yang bakal melarang kalau ada yang mau memakainya untuk keperluan sehari-hari di QTH, misalnya yang belakangan ini dilakukan oleh OM Firson, YCØLZH/1, atau OM Urip, YCØKMU.


Barangkali layak juga buat diingat, salah satu variant dari end-fed random length  antenna ini adalah Antenna W3EDP (lihat BEON 0408, Januari 2005), walaupun pada rancangan ini panjang elemennya sudah tidak ‘ngacak lagi, karena mesti dipotong persis sepanjang 25,60 mtr (= 84’ ).

Belakangan ini yang menarik untuk diamati adalah eksperimen yang dilakukan OM Budi,  YC2UM, yang mengumpan 3-wire elemen sepanjang 3/4λ pada ujung bawah atau pangkal yang dekat TX. Sepanjang pengamatan penulis selama beberapa bulan, kinerja rekaan mas Budi ini cukup meyakinkan karena sinyalnya selalu terdengar “mantap” dan cukup dominan di band 80M.

Buat yang ‘pingin ikutan ‘ngejajal di band-band lain (mungkin karena lahan yang ada  tidak se- mendukung di YC2UM untuk ‘ngebentang versi 80M) skemanya diberikan di gambar berikut, yang untuk menyederhanakan penggambaran dibentuk sebagai sebuah inverted L seperti contoh instalasi yang disebutkan di atas, walaupun tergantung sikon setempat, tidak tertutup kemungkinan untuk membentangnya sebagai sloping wire juga seperti yang dicontohkan di depan.

Seperti terlihat pada gambar, di ujung atas ketiga kawat saling di short, sedangkan di pangkal- nya hanya kawat-kawat di sisi luar yang saling di jumper, sedangkan kawat yang ditengah langsung dihubungkan dengan
Matching unit.

Nah, sepanjang hampir 4 tahun ‘ngobrol-‘ngalor - ngidul ini kita sudah menjumpai sederetan nama .... sebut aja dari era tahun 20-an ada nama John Krauss, W8JK, yang “bapak” phased ar-rays, Yagi-Uda pendahulu rancangan antenna pengarah dengan parasitic elements, kemudian ada Lorens G Windom, W8GZ, yang melansir rancangan off-center fed-nya di awal 30an, disusul W3EDP dengan antenna panjang acak yang tidak
‘ngacak di sekitar paruh ke dua 30an juga, Louis Varney, G5RV, yang mengaplikasikan  extended collinear double Zepp di sekitar paruh kedua tahun 40an (dan kemudian lantas “mendunia” di tahun 80an), Les Moxon, G6XN, yang memelopori pemendekkan Dipole sebagai Driven Element dengan menekuknya ke-arah “dalam” di dasa warsa 90an, serta nama-nama lain …., dan tentunya deretan nama tersebut tidak akan berhenti disitu saja, karena sepertinya banyak yang masih bisa di-othak-athik dari “sak-ler kawat” yang pada dasarnya merupakan perkalian atau pembagian dari ukuran 1/2λ (atau disebut juga sebagai kelompok atau keluarga besar Hertzian antenna) itu.

So, di edisi depan kita tentu bakal ketemu dengan nama-nama lain lagi, sapa tau atau syukur-syukur kalo’
ada yang bener-bener nama dari bumi anak negri sendiri, ya kaaan …. Untill then, CU es

73 …

No comments:

Post a Comment